PENDAHULUAN
Sumatera Barat merupakan salah satu
wilayah di Nusantara yang terpengaruh pemikiran tasawuf di Aceh. Ini bisa
dibuktikan dengan berkembangnya pemikiran-pemikiran tasawuf dan ordo tarekat di
wilayah ini. Salah satu ordo tarekat yang berkembang pesat di Sumatera Barat
yang bermula dari Aceh, adalah Tarekat Syatariyah. Pembawa pertama tarekat ini
adalah Syaikh Abdullah al-Syathari (wafat 1415 M., ada juga yang mengatakan
tahun 1428).
Dari kenyataan tersebut jelas bahwa
pemikiran tasawuf yang berkembang di Sumatera Barat dipengaruhi pemikir tasawuf
Aceh, terutama dari Abdul Rauf Singkel. Itulah sebabnya, dalam masalah
pemikiran tasawuf, orang-orang Islam di Sumatera Barat meng
anggap sumber
kerohaniannya berasal dari Aceh.
Syaikh Abd. Rauf bin Ali Fansur ini
berhasil mengkombinasikan ajaran syariat Mazhab Syafi'i dengan ajaran tasawuf
Orde Tarekat Syathariyah di Sumatera Barat. Tersebarnya tarekat Syathariyah
mulai Aceh kemudian melewati Sumatera Barat, menyusur hingga ke Sumatera
Selatan, dan berkembang pula hingga ke Cirebon Jawa Barat. Kalau kita kaji
secara saksama, ternyata masih ada pertalian dan persambungan silsilah dengan
Syaikh Abd. Rauf bin Ali Fansur tersebut.
PEMBAHASAN
A. Syaikh Burhanuddin Ulakkan
Di Sumatera Barat ini Tarekat Syathariyah
dikembangkan oleh Syaikh Burhanuddin Ulakkan. Beliau adalah murid Syaikh Abd.
Rauf bin A l i Fansuri. Namanya ketika masih kecil adalah Si Pono dan ayahnya
bernama Pampak. Ketika masih
remaja hobi si Pono adalah berdagang di pasar Batang Bengkawas. Ketika itu ia
belum mengenal selukbeluk keislaman karena dikatakan bahwa ayahnya sendiri adalah
seorang yang menganut agama Budha. Kemudian Pono mengikuti ayahnya pindah ke
Sintuk (tahun 1029 H atau 1559 M). Kemudian berpindah pula ke Ulakkan. Dari Ulakkan
dia melanjutkan perjalanan ke Aceh sehingga mendatangi Syaikh Abd. Rauf bin Ali
Fansuri, seorang ulama yang sangat termasyhur ketika itu. Mungkin pada mulanya
Pono tidak berniat untuk menuntut ilmu pengetahuan kepadanya, tetapi hanya
untuk mencari sesuap nasi sehari-harinya. Namun, pandangan batin Abd. Rauf bin
Ali Fansuri melihat bahwa yang datang itu adalah seorang yang berbakat untuk menjadi
seorang ulama yang terkemuka sekaligus sebagai calon pengganti beliau di
kemudian hari. Untuk itulah Pono diajarinya berbagai pengetahuan keislaman, hingga akhirnya kelak
menjadi orang yang berilmu pengetahuan keislaman yang mendalam.
Tiga belas tahun lamanya dia belajar kepada
ulama yang terkenal sebagai wali itu. Semasa belajar beliau berteman dengan
beberapa orang di antaranya adalah Datuk Marhum Panjang dari Padang Ganting
Tanah Datar (Sumatera Barat), Tarapang dari Kubang Tiga Belas (Solok), dan
lain-lain. Beliau adalah seorang yang sangat patuh kepada gurunya, hal ini pernah
diceritakan oleh Dr. Syaikh Haji Jalaluddin dalam salah satu bukunya sebagai
berikut.
Dari hari ke hari tumbuhlah kasih sayang,
takut, dan malu kepada syaikh tersebut. Pada suatu hari syaikh itu tengah mengunyah-ngunyah
sirih, tiba-tiba tempat kapur sirihnya terlepas dari tangannya dan jatuh ke
dalam kakus (wc). Kakus itu sangat dalam dan telah dipakai puluhan tahun. Tuan
Syaikh herkata, "Siapa di antara kalian yang sudi membersihkan kakus itu,
untuk mengambil tempat sirih saya yang jatuh ke dalamnya?" dari sekian
murid itu semuanya enggan mengerjakan yang diperintahkan Syaikh tersebut. Lantas
Burhanuddin Ulakkan bekerja berjam-jam membersihkan kakus itu sehingga bersih
dan tempat kapur sirih yang tadi jatuh pun dapat ditemukannya. Tempat sirih itu
dibersihkannya dan diberikan kepada Syaikh tersebut. Kemudian Syaikh berdoa
cukup panjang. Selanjutnya Syaikh itu berkata: "Tanganmu ini akan dicium
oleh raja-raja, penghulu- penghulu, orang-orang besar di Sumatera Barat dan muridmu
tidak akan putus-putusnya sampai akhir zaman, dan ilmu kamu akan memberkati
dunia ini. Aku namai kamu Saidi Syaikh Burhanuddin."
Setelah dipandang ilmunya cukup matang dan
telah mendapatkan izin pula dari gurunya Syaikh Abd. Rauf bin Ali Fansuri,
beliau pun kembali ke kampung kelahirannya. Sebelumnya gurunya sempat berkata,
"Pulanglah kamu ke negerimu, ajarkanlah ilmu apa-apa yang ditakdirkan
Allah. Kalau kamu tetap sayang, takut, malu, patuh kepadaku nanti kamu akan
mendapat hikmah kebatinan, yakni seolah-olah rohaniah aku menjelma kepadamu.
Kalau kamu berkata seolah-olah kataku. Kalau kamu mengajar seolah-olah
pengajaranku. Bahkan terkadang rupa jasadmu seolah-olah jasadku. Kalau kamu
sudah seperti itu, maka mudah bagi kamu mengajarkan agama Islam kepada siapa
saja. Yang telah kamu dapatkan, itulah yang disebut Rabithah Mursyid. Seorang
yang mendapatkan Rabithah Mursyid, orang itu akan terus mendapat taufiq
dan hidayah Allah, dan diberi ilmu hikmah, terbuka rahasia Allah dan
berbahagialah orang i tu dunia akhirat, insya Allah. Kita akan berpisah secara
lahir, tetapi batin kita tidak berpisah. Demikian ungkapan yang sangat propagandis
yang ditulis oleh Syaikh Haji Jalaluddin, seperti yang dikutip Hawash Abdullah.
Prof.
Dr. Hamka pernah menulis dalam sebuah bukunya yang berjudul Ayahku, bahwa
Syaikh Burhanuddin Ulakkan, yang merupakan murid Syaikh Abd. Rauf bin Ali
Fansuri, kembali ke kampung halamannya pada tahun 1100 H dan bertepatan dengan
tahun 1680 M. Sejarah telah mencatat bahwa beliau meninggal dunia di Ulakkan
pada tahun 1111 H. atau 1691 M. Belakangan hari kemudian, tokoh ini menjadi sangat
termasyhur dengan panggilan Syaikh Burhanuddin Ulakkan.
Mengenai
riwayat hidupnya pernah ditulis oleh Tuan Guru Haji Harun al-Thubuhi Farmayani,
dan telah diterbitkan.
Dalam
buku kecil itu disebutkan bahwa Syaikh Burhanuddin Ulakkan adalah berasal dari
Guci. Syirajuddin Abbas juga pernah menulis seperti itu. Terakhir sekali
tentang tokoh sufi ini dapat pula dibaca dalam tulisan Sidi Ghazalba yang dimuat
dalam buku Masjid Pusat Ibadat dan Kebudayaan Islam. Dari tulisan Dr. Syaikh Haji Jalaluddin dapat
juga disimpulkan keterangan bahwa Syaikh Burhanuddin Ulakkan kembali dari Aceh
dengan berjalan kaki ke kampung halamannya. Mula-mula ia sampai di negeri Tiku,
Kabupaten Agam sekarang. Di Tiku itu ia kawin dengan seorang perempuan setempat.
Dari perkawinarvnya itu dia mendapatkan anak laki-laki yang diberi nama Sidi
Abdullah Faqih, yang kelak anak ini melanjutkan ajaran orang tuanya. Sidi
Abdullah Faqih mendapat anak bernama Sidi Abdul Jabbar. Syaikh Abdul Jabbar
mendapat anak bernama Sidi Syaikh Ilyas. Sidi Syaikh Ilyas mendapat anak
bernama Sidi Yusni, dan konon kabarnya tahun 1930 masih hidup dan menjadi
pedagang kain batik Indonesia di Kuala Lumpur.
Sidi Yusni adalah murid Syaikh
Jalaluddin dan beliau sangat fanatik kepada Syaikh Haji Jalaluddin tersebut.
Mungkin ayahnya Sidi Ilyas dan beliau sendiri sebagai keturunan Burhanuddin
Ulakkan yang mengamalkan Tarekat Qadariyah dan Naqsyabandiyah. Padahal,
sebelumnya semuanya mengamalkan Tarekat Syathariyah. Diceritakan pula bahwa Sidi
Syaikh Ilyas yang merupakan cicit Syaikh Burhanuddin Ulakkan ini yang
mempersatukan antara tarekat dengan ilmu pencak silat, sebagai alat untuk
mempertahankan diri.
Hingga kini kubur Syaikh Burhanuddin
Ulakkan masih diziarahi orang, lebih-lebih di hari Rabu akhir bulan Shafar. Dr.
Syaikh Haji Jalaluddin selaku Ketua Umum seumur hidup PTI (Persatuan Pembela
Tarekat Islam) mengajak seluruh pengikutnya setelah selesai kongres PPTI yang
ke-16 mengadakan ziarah ke makam Syaikh Burhanuddin di Ulakkan. Mereka meyakini
bahwa Burhanuddin Ulakkan adalah salah seorang wali Allah yang memiliki keistimewaan.
Salah satu tradisi yang pernah
terjadi di makam Ulakkan itu yang sampai sekarang masih terkenal adalah
"Basapa". Tentang hal ini biasa kita lihat dari tulisan Sidi
Ghazalba, yang pernah mencatat sebagai berikut. "Syaikh Burhanuddin wafat
10 Shafar 1111 Hijriyah. Karena 10 Shafar itu tidak tentu jatuh pada hari Rabu,
maka ziarah ke makam pembangun Islam di Minangkabau i tu yang dilakukan secara serempak
hampir dari setiap pelosok wilayah Minangkabau, dilakukan dari hari Rabu
sesudah 10 Shafar tiap tahunnya. Tradisi berziarah seperti ini terkenal dengan
sebutan "Basapa" (bershafar) yang dilakukan serempak oleh puluhan
ribu orang sebelum Perang Pasifik. Jalan di antara Pariaman dan Ulakkan dipenuhi
oleh iringan orang-orang pulang pergi berziarah, yang jumlah panjangnya mencapai
kira-kira sepuluh kilometer. Namun, ada juga kaum muda di Minangkabau yang menolak
"Basapa", demikian tulis Sidi Ghazalba.
Banyak orang yang kemudian mencela
tradisi Basapa yang dilakukan terutama oleh aliran Tarekat Syathariyah. Akan
tetapi kalau kita selidiki lebih jauh, ternyata bukan saja ordo Tarekat
Syathariyah yang melakukan demikian, tetapi juga ordo Tarekat Qadiriyah, ordo
Tarekat Naqsyabandiyah, juga pengikut mazhab Syafi'i, bahkan orang-orang yang mengaku
berdasarkan Alquran dan hadis (tegasnya kaum muda) pun tidak kurang pula
mengerjakan tradisi Basapa di kubur Syaikh Burhanuddin Ulakkan tersebut.
Demikian penjelasan tentang Syaikh Burhanuddin
Ulakkan, seorang yang telah tercatat sebagai ulama besar dari Mazhab Syafii,
pengikut faham Ahlussunnah wal Jama'ah, penganjur dan penyebar Tarekat
Syathariyah di daerah Minangkabau (Sumatera Barat) dan sekitarnya, yang telah banyak
mencurahkan seluruh hidupnya untuk mendakwahkan Islam semata. Dari usaha-usaha
besarnya itu di belakang hari kemudian ternyata diikuti pula oleh ulama-ulama
yang berasal dari Sumatera Barat lainnya secara berantai yang tidak putus-putusnya
hingga waktu sekarang i n i . Misalnya saja; kita mengenal nama-nama popular
yang berasal dari Minangkabau, di antaranya Syaikh Isma'il bin Abdullah
Minangkabau, Syaikh Ahmad Khatib bin Abdul Latif Minangkabau, Syaikh Sulaiman
al-Rasuli Candung, Syaikh Jamil Jaho, Dr. Syaikh Haji Jalaluddin, Syaikh
Jambek, Dr. Abdul Malik Amrullah, Kyai Haji Syirajuddin Abbas, Prof. Dr. Hamka,
dan lain-lain.
Dari
uraian di atas membuktikan bahwa Sumatera Barat menempati posisi yang sangat
penting dalam penyebaran Islam di Indonesia. Tokoh-tokoh besar yang disebutkan
di atas membuktikan betapa besar peran Sumatera Barat dalam penyebaran Islam.
B. Syaikh Ismail bin Abdullah al-Khalidi
Selain Syaikh Burhanuddin Ulakkan,
di Sumatera Barat muncul juga seorang sufi yang termasyhur terutama di daerah Minangkabau
dan sekitarnya. Tokoh yang dimaksud adalah Syaikh Ismail bin Abdullah
al-Khalidi, yang kemudian lebih dikenal dengan nama Ismail al-Minangkabawi.
Tokoh besar yang hidup antara tahun 1125-1260 i n i sering dipandang sebagai
penyebar Tarekat Naqsyabandiyah di wilayah Minangkabau.
Ismail al-Minangkabawi merupakan
seorang ahli fiqih, ahli tasawuf, dan ahli ilmu kalam (teologi). Dalam salah
satu sumber disebutkan bahwa Syaikh Ismail al-Minangkabawi ini belajar dan
mengaji Alquran di surau kampungnya semenjak masih kecil. Setelah i tu di bawah
bimbingan guru dan orang tuanya, dia belajar membaca kitab-kitab Arab-Melayu dan
kitab berbahasa Arab yang mencakup pelajaran ilmu fiqih, tasawuf, kalam,
tafsir, hadis, dan ilmu bahasa. Kemudian dia meneruskan pendidikannya ke tanah
suci Makkah dan Madinah selama hampir 35 tahun. Cukup banyak ilmu yang
diperoleh ketika dia belajar di sana.
Guru-gurunya tercatat cukup banyak, di
antaranya yang terkenal adalah Syaikh Ataillah bin Ahmad al-Azhari (ahli f iqih
Mazhab Syafi’i ), Syaikh Abdullah al-Syarqawi (mantan syaikh al-Azhar dan ahli
fiqih Mazhab Syafi'i), Syaikh Abdullah Affandi (tokoh tarekat Naqsyabandiyah), Syaikh
Khalid al-Usmani al-Kurdi (seorang pembimbing rohani) , dan Syaikh Muhammad bin
Ali al-Syanwani, seorang ahli ilmu kalam.
Usai menyelesaikan pelajarannya,
Ismail al-Minangkabawi mulailah menuangkan ilmu pengetahuannya dari satu tempat
ke tempat yang lain, dari satu pengajian ke pengajian lainnya. Syaikh Husein
bin Ahmad ad-Dawsari al-Basri, salah seorang muridnya, pernah menyatakan bahwa
dia bertemu dengan gurunya i tu di pelabuhan Bahrain dan belajar Tarekat Naqsyabandiyah
kepadanya secara intensif. Kemudian pelajaran tersebut diteruskan di sebuah
desa yang tidak diketahui namanya, di luar kota Basra, sampai keduanya berpisah
di desa tersebut sekian lama. Bertahun-tahun mengembara guna menuntut ilmu di
Timur Tengah, hingga kemudian tiba waktunya bagi Syaikh Ismail al-Minangkabawi
memutuskan untuk kembali ke tanah air.
Dalam kepulangannya, Syaikh Ismail
al-Minangkabawi langsung menuju ke kampung halamannya yakni Simabur (Batusangkar).
Di tempat inilah, dia lantas membuka sebuah majelis pendidikan agama Islam dan
mengajarkan ilmu usuluddin, ilmu syariat serta ilmu tarekat. Dalam ilmu Usuluddin,
dia mengajarkan ilmu kalam Asyariyah terutama pelajaran sifat dua puluh. Dalam
ilmu syariat ia mengajarkan fiqih mazhab Syafi'i. Sedangkan dalam ilmu tarekat,
dia mengembangkan Tarekat Naqsyabandiyah al-Khalidiyah. Sejak masa itulah
Tarekat Naqsyabandiyah berkembang pesat di Sumatera Barat dan sekitarnya.
Banyak orang sekitarnya dan para pendatang yang menjadi penganut tarekat yang dibawanya.
Atas usaha-usahanya itulah, maka
Syaikh Ismail sering dipandang sebagai orang pertama yang mengembangkan Tarekat
Naqsyabandiyah Khalidiyah di Minangkabau. Bila ditilik perkembangan tarekat di
wilayah Sumatera Barat dan sekitarnya, termasuk Riau, Jambi, Bengkulu dan Tapanuli
Selatan, maka jauh sebelum adanya Tarekat Naqsyabandiyah
yang
diusung Syaikh Ismail, telah berkembang Tarekat Syathariyah yang berpusat di
Ulakan, Pariaman. Yang membawa dan menyebarluaskan Tarekat Syathariyah ini
adalah Syaikh Burhanuddin Ulakkan, murid Syaikh Abdur Rauf Singkel. Dalam
praktiknya, Tarekat Syathariyah ini lebih mementingkan amal batin ketimbang
amal lahir. Hal ini jelas berbeda dengan Tarekat Naqsyabandiyah yang
menyeimbangkan amal lahir dengan amal batin.
Tarekat Naqsyabandiyah memiliki dua
aliran, yakni tingkat Naqsyabandiyah Muzhariyah dan Naqsyabandiyah Khalidiyah.
Aliran pertama berasal dari Syaikh Muhammad Muzhar al-Ahmadi, seorang mursyid
Tarekat Naqsyabandiyah, sementara aliran kedua berasal dari Syaikh Khalid al-Usmani
al-Kurdi yang merupakan salah seorang mursyid Tarekat Naqsyabandiyah yang
banyak melakukan modifikasi terhadap tarekat tersebut. Aliran kedua inilah yang
dikcmbangkan oleh Syaikh Ismail al-Minangkabawi. Upaya pengembangan tarekat itu
tidak hanya terbatas di kampong halamannya saja, tapi meluas hingga keluar
wilayah Sumatera Barat.
Sasterawan terkenal, Raja Ali Haji menyebut
dalam bukunya bahwa Syaikh Ismail al-Minangkabawi sering datang ke
kerajaan
Melayu Riau ketika ia menjadi raja muda Riau. Bahkan, seringkali dia sendiri
yang menjemput Ismail al- Minangkabawi di pelabuhan dan kemudian membawanya ke istana
kerajaan. Kemudian, hampir seluruh kerabat keluarga istana sering berkumpul
untuk mendengarkan nasihat-nasihat dan wejangan-wejangan dari ulama terkemuka
itu.
Di samping karena keluasan wawasan
pengetahuannya,
Ismail
al-Mingangkawabi juga begitu dihormati di wilayah kerajaan Melayu Riau karena
di silsilah keturunannya dia memiliki pertalian darah dengan orang-orang Melayu
dan Bugis di Pulau Penyengat dan di Negeri Sembilan. Buya Hamka dalam bukunya Dari
Perbendaharaan Lama, bahwa Raja Muhammad Yusuf (1858-1899), yaitu Yamtuan
muda Riau dari keturunan Bugis, menambahkan al-Khalidi di ujung namanya.
Hal tersebut sekaligus menandakan
bahwa dia adalah pengikut Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiah. Tarekat tersebut dipelajarinya
langsung dari Syaikh Ismail al-Minangkabawi yang seringkali datang ke Pulau
Penyengat. Ismail al-Minangkabawi pun ternyata termasuk tokoh sufi yang raj in
menulis buku-buku. Di antara karyanya adalah menyangkut amal keagamaan
sehari-hari yang dilaksanakan masyarakat, terutama dalam bidang akidah, fiqih
serta tasawuf. Karya tulisnya
yang baru ditemukan ada dua, yakni Kifayah al-Gulam fi Bay an Arkan
al-Islam wa Syumtih (Kecukupan bagi Anak dalam Penjelasan tentang Rukun
Islam dan Syaratsyaratnya) serta Risalah Muqaramah Urfiah wa Tauziah wa Kamaliah
(Risalah tentang Niat Shalat). Kitab pertama berisi penjelasan tentang
rukun Islam, rukun iman, sifat Tuhan, dan penjelasan tentang kewajiban Muslim
dalam kehidupan sehari-hari.
Kitab kedua merupakan buku kecil
yang membicarakan keterpaduan antara niat dan lafal takbiratul ihram pada
permulaan pelaksanaan shalat. Sebagai penganut aliran Asy'ariyah, Ismail
al-Minangkabawi mewajibkan setiap Muslim untuk mengenal Tuhan menurut metode
kaum Asyariyah, yakni diawali dengan pengenalan sifat-sifat Tuhan. Dia berpendapat
Tuhan tidak dapat dikenal kecuali diawali dengan pengenalan terhadap
sifat-sifat-Nya.
Setelah i t u , umat Muslim
diwajibkan mengetahui rukun iman lainnya. Adapun sebagai penganut mazhab
Syafi'i, dia memegang ketat ajaran pada mazhab tersebut. Dalam bukunya berjudul
Risalah Muqaramah, ia mempertahankan pendapat kalangan ulama mazhab
Syafi'i tentang kesertaan niat dan ritual yang didasarkan pada definisi niat
masyhur dalam nu.-hab
Syafi'i, yakni Qasd al-Sya'i Muqtarinan hi Fi'lih (menyengaja
sesuatu disertai dengan mengerjakannya).
Ismail al-Minangkabawi juga diakui
sebagai mursyid Ia ickat Naqsyabandiyah yang silsilah pengambilan tarekatnya
Hiimpai kepada Nabi Muhammad Saw. Kelebihannya dalam tarekat ini ialah dia
menerima baiat dari dua syaikh mursyid, yakni Syaikh Khalid al-Usmani dan
Syaikh Abdullah Affandi. Kiprahnya dalam mengembangkan tarekat ini di wilayah Sumatera
Barat dinilai sangat berhasil. Banyak penduduk
Bekitarnya yang dengan sukarela
menganut tarekat yang dibawakan Syaikh Ismail al-Minangkabawi ini .
C. Syaikh Muhammad Jamil Jambek
Ulama pelopor pembaruan Islam dari Sumatera
Barat awal abad 20 ini dikenal juga sebagai ahli ilmu falak terkemuka. Nama
Syaikh Muhammad Jamil Jambek lebih dikenal dengan sebutan Syaikh Muhammad
Jambek, dilahirkan dari keluarga bangsawan. Dia juga merupakan keturunan
penghulu. Ayahnya bernama Saleh Datuk Maleka, seorang kepala nagari Kurai,
sedangkan ibunya berasal dari Sunda.
Masa kecilnya tidak banyak
diketahui. Namun, yang jelas Syaikh Muhammad Jambek mendapatkan pendidikan
dasarnya di Sekolah Rendah yang khusus mempersiapkan pelajar untuk masuk ke
sekolah guru. Kemudian, dia dibawa ke Makkah oleh ayahnya pada usia 22 tahun
untuk menimba ilmu.
Ketika itu dia berguru kepada Syaikh
Ahmad Khatib Minangkabau. Semula Syaikh Muhammad Jambek tertarik untuk
mempelajari i l m u sihir, tapi dia disadarkan dan d i – insyafkan oleh
gurunya. Selama belajar di tanah suci, banyak ilmu agama yang dia dapatkan.
Antara lain yang dipelajari secara intensif adalah tentang ilmu tarekat serta memasuki suluk di Jabal Abu
Qubais.
Dengan pendalaman tersebut Syaikh
Muhammad Jambek menjadi seorang ahli tarekat dan bahkan memperoleh ijazah dari
tarekat Naqsabandiyyah-Khalidiyah. Namun, dari semua ilmu yang pernah didalami
yang pada akhirnya
membuatnya
terkenal adalah tentang ilmu falak.
Keahliannya di bidang ilmu falak
mendapat pengakuan luas di Makkah. Oleh sebab itu , ketika masih berada di
tanah suci, Syaikh Muhammad Jambek pun mengajarkan ilmunyai tu kepada para
penuntut ilmu dari Minangkabau yang belajar di Makkah seperti Ibrahim Musa
Parabek (pendiri perguruan Tawalib Parabek) serta Syaikh Abbas Abdullah
(pendiri perguruan Tawalib Padang Panjang).
Pada tahun 1903, dia kembali ke
tanah air. Ia pun memilih mengamalkan ilmunya secara langsung kepada
masyarakat; mengajarkan ilmu tentang ketauhidan dan mengaji. D i antara murid-muridnya
terdapat beberapa guru tarekat. Lantaran itulah Syaikh Muhammad Jambek
dihormati sebagai Syaikh Tarekat.
Setelah beberapa lama, Syaikh Muhammad Jambek
berpikir melakukan kegiatan alternatif. Hatinya memang lebih condong untuk
memberikan pengetahuannya, walaupun tidak melalui lembaga atau organisasi. Dia
begitu tertarik pada usaha meningkatkan keimanan seseorang. Hingga kemudian dia
mendirikan dua buah surau. Yakni, Surau Tengah Sawah dan Surau Kamang keduanya dikenal sebagai Surau
Inyik jambek.
Kiprahnya mampu memberikan warna
baru di bidang kegiatan keagamaan di Sumatera Barat. Mengutip Ensiklopedi
islam, Syaikh Muhammad Jambek juga dikenal sebagai ulama yang pertama
kali memperkenalkan cara bertablig di muka umum. Barjanji (rawi) atau marhaban
(puji-pujian) yang biasanya dibacakan di surau-surau saat peringatan Maulid Nabi
Muhammad Saw., digantinya dengan tablig yang menceritakan riwayat lahir Nabi
Muhammad dalam bahasa Melayu. Demikian
halnya dengan kebiasaan membaca riwayat isra mi'raj Nabi Muhammad dari kitab
berbahasa Arab. Dia menggantinya dengan tablig yang menceritakan peristiwa tersebut
dalam bahasa Melayu, sehingga dimengerti oleh seluruh lapisan masyarakat.
Termasuk juga tradisi membaca kitab, digantinya dengan membahas masalah
kehidupan sehari hari. Menurutnya, semua i t u dilakukan karena agama diperuntukkan
bagi siapa saja yang dapat memahaminya. Ia pun dikenal sebagai ulama yang lebih
bergiat di aktivitas tablig dan ceramah.
Seiring perjalanan w a k t u , sikap
dan pandangannya terhadap tarekat mulai berubah. Syaikh Muhammad Jambek kini
tidak lagi tertarik pada tarekat. Pada awal tahun 1905, ketika diadakan
pertemuan ulama guna membahas keabsahan tarekat yang berlangsung di Bukit
Surungan, Padang panjang, Syaikh Muhammad berada di pihak yang menentang
tarekat. Dia "berhadapan" dengan Syaikh Bayang dan Haji Abbas yang membela
tarekat.
Kemudian dia menulis buku mengenai kritik
terhadap tarekat berjudul Penerangan Tentang Asal Usui Thariqatu al Naqsyabandiyyah
dan Segala yang Berhubungan dengan Dia, terdiri atas dua jilid. Salah satu
penjelasan dalam buku itu, yakni Tarekat Naqsyabandiyyah diciptakan oleh orang
dari Persia dan India. Syaikh Muhammad Jambek menyebut orang-orang dari kedua
negeri itu penuh takhayul dan khurafat yang makin lama makin jauh dari ajaran
Islam.
Buku lain yang ditulisnya berjudul
Memahami Tasawuf dan Tarekat dimaksudkan sebagai upaya mewujudkan pembaruan pemikiran
Islam. Akan tetapi secara umum dia bersikap tidak ingin bermusuhan dengan
adat-istiadat Minangkabau. Tahun 1929, Syaikh Muhammad Jambek mendirikan
organisasi bernama Persatuan Kebangsaan Minangkabau dengan tujuan untuk
memelihara; menghargai, dan mencintai adatistiadat setempat.
Di samping juga untuk memelihara dan
mengusahakan agar Islam terhindar dari bahaya yang dapat merusaknya. Dia juga
turut menghadiri kongres pertama Majelis Tinggi Kerapatan Adat Alam Minangkabau
tahun 1939. Yang tak kalah pentingnya dalam perjalanan dakwahnya pada masa pendudukan
Jepang, Syaikh Muhammad Jambek mendirikan Majelis Islam Tinggi (MIT) berpusat
di Bukit tinggi.
KESIMPULAN
Berdasarkan penjabaran di atas
tentunya banyak sekali perbedaan di antara aliran-aliran yang di bawa oleh para
tokoh tasawuf di Sumatra Barat, namun perlu kita ingat juga bahwa tasawuf
adalah bidang kajian yang berhubungan dengan pembinaan mental rohaniah agar
dekat dengan Tuhan.
Mengakui adanya sumber islam dalam
tasawuf tidak lantas berarti mengingkari pengaruh sumber-sumber asing. Akan
tetapi meletakan pengaruh tersebut pada proporsi yang sebenarnya dan tidak
dibesar-besarkan. Sebaiknya tidak baik juga apabila mengedepankan sumber-sumber
asing saja, padahal banyak sekali dalil yang bisa digunakan acuan dalam
Al-Quran dan Al-Hadis.
Bertasawuf
bertujuan memperoleh hubungan secara sadar antara manusia dengan tuhannya untuk
mendekatkan diri kepadanya, dengan mengikuti konsep-konsep yang ada dalam
tasawuf.
Adanya tasawuf menjadi jalan keluar
dari kemelut perpolitikan kaum muslimin yang telah terjadinya pembunuhan pada
Khalifah-khalifah. Sepeninggal sang Khalifah umat islam saat itu terlena dengan
konflik yang tiada henti dan banyak melakukan kemunkaran.
Secara garis besar perkembangan
tasawuf baik di dunia islam maupun di Indonesia sangat dipengaruhi oleh perkembangan
ilmu pengetahuan dan keadaan social politik umat islam saat itu.
Tidak perlu ada pertentangan antara
ajaran tasawuf yang tidak sepenuhnya ada dalam ajaran syariat islam. Hal yang
penting adalah bagaimana kita selalu berupaya untuk mendekatkan diri keppada
Allah SWT dengan menjadikan syariat islam sebagai pedoman untuk mencapai
ma’rifat.
Komentar