Langsung ke konten utama

Sejarah perkembangan tasawuf di Sumatra Barat

PENDAHULUAN
            Sumatera Barat merupakan salah satu wilayah di Nusantara yang terpengaruh pemikiran tasawuf di Aceh. Ini bisa dibuktikan dengan berkembangnya pemikiran-pemikiran tasawuf dan ordo tarekat di wilayah ini. Salah satu ordo tarekat yang berkembang pesat di Sumatera Barat yang bermula dari Aceh, adalah Tarekat Syatariyah. Pembawa pertama tarekat ini adalah Syaikh Abdullah al-Syathari (wafat 1415 M., ada juga yang mengatakan tahun 1428).
            Dari kenyataan tersebut jelas bahwa pemikiran tasawuf yang berkembang di Sumatera Barat dipengaruhi pemikir tasawuf Aceh, terutama dari Abdul Rauf Singkel. Itulah sebabnya, dalam masalah pemikiran tasawuf, orang-orang Islam di Sumatera Barat meng
anggap sumber kerohaniannya berasal dari Aceh.
            Syaikh Abd. Rauf bin Ali Fansur ini berhasil mengkombinasikan ajaran syariat Mazhab Syafi'i dengan ajaran tasawuf Orde Tarekat Syathariyah di Sumatera Barat. Tersebarnya tarekat Syathariyah mulai Aceh kemudian melewati Sumatera Barat, menyusur hingga ke Sumatera Selatan, dan berkembang pula hingga ke Cirebon Jawa Barat. Kalau kita kaji secara saksama, ternyata masih ada pertalian dan persambungan silsilah dengan Syaikh Abd. Rauf bin Ali Fansur tersebut.







PEMBAHASAN
A.      Syaikh Burhanuddin Ulakkan
            Di Sumatera Barat ini Tarekat Syathariyah dikembangkan oleh Syaikh Burhanuddin Ulakkan. Beliau adalah murid Syaikh Abd. Rauf bin A l i Fansuri. Namanya ketika masih kecil adalah Si Pono dan ayahnya bernama Pampak.          Ketika masih remaja hobi si Pono adalah berdagang di pasar Batang Bengkawas. Ketika itu ia belum mengenal selukbeluk keislaman karena dikatakan bahwa ayahnya sendiri adalah seorang yang menganut agama Budha. Kemudian Pono mengikuti ayahnya pindah ke Sintuk (tahun 1029 H atau 1559 M). Kemudian berpindah pula ke Ulakkan. Dari Ulakkan dia melanjutkan perjalanan ke Aceh sehingga mendatangi Syaikh Abd. Rauf bin Ali Fansuri, seorang ulama yang sangat termasyhur ketika itu. Mungkin pada mulanya Pono tidak berniat untuk menuntut ilmu pengetahuan kepadanya, tetapi hanya untuk mencari sesuap nasi sehari-harinya. Namun, pandangan batin Abd. Rauf bin Ali Fansuri melihat bahwa yang datang itu adalah seorang yang berbakat untuk menjadi seorang ulama yang terkemuka sekaligus sebagai calon pengganti beliau di kemudian hari. Untuk itulah Pono diajarinya berbagai pengetahuan keislaman, hingga akhirnya kelak menjadi orang yang berilmu pengetahuan keislaman yang mendalam.
             Tiga belas tahun lamanya dia belajar kepada ulama yang terkenal sebagai wali itu. Semasa belajar beliau berteman dengan beberapa orang di antaranya adalah Datuk Marhum Panjang dari Padang Ganting Tanah Datar (Sumatera Barat), Tarapang dari Kubang Tiga Belas (Solok), dan lain-lain. Beliau adalah seorang yang sangat patuh kepada gurunya, hal ini pernah diceritakan oleh Dr. Syaikh Haji Jalaluddin dalam salah satu bukunya sebagai berikut.
Dari hari ke hari tumbuhlah kasih sayang, takut, dan malu kepada syaikh tersebut. Pada suatu hari syaikh itu tengah mengunyah-ngunyah sirih, tiba-tiba tempat kapur sirihnya terlepas dari tangannya dan jatuh ke dalam kakus (wc). Kakus itu sangat dalam dan telah dipakai puluhan tahun. Tuan Syaikh herkata, "Siapa di antara kalian yang sudi membersihkan kakus itu, untuk mengambil tempat sirih saya yang jatuh ke dalamnya?" dari sekian murid itu semuanya enggan mengerjakan yang diperintahkan Syaikh tersebut. Lantas Burhanuddin Ulakkan bekerja berjam-jam membersihkan kakus itu sehingga bersih dan tempat kapur sirih yang tadi jatuh pun dapat ditemukannya. Tempat sirih itu dibersihkannya dan diberikan kepada Syaikh tersebut. Kemudian Syaikh berdoa cukup panjang. Selanjutnya Syaikh itu berkata: "Tanganmu ini akan dicium oleh raja-raja, penghulu- penghulu, orang-orang besar di Sumatera Barat dan muridmu tidak akan putus-putusnya sampai akhir zaman, dan ilmu kamu akan memberkati dunia ini. Aku namai kamu Saidi Syaikh Burhanuddin."
            Setelah dipandang ilmunya cukup matang dan telah mendapatkan izin pula dari gurunya Syaikh Abd. Rauf bin Ali Fansuri, beliau pun kembali ke kampung kelahirannya. Sebelumnya gurunya sempat berkata, "Pulanglah kamu ke negerimu, ajarkanlah ilmu apa-apa yang ditakdirkan Allah. Kalau kamu tetap sayang, takut, malu, patuh kepadaku nanti kamu akan mendapat hikmah kebatinan, yakni seolah-olah rohaniah aku menjelma kepadamu. Kalau kamu berkata seolah-olah kataku. Kalau kamu mengajar seolah-olah pengajaranku. Bahkan terkadang rupa jasadmu seolah-olah jasadku. Kalau kamu sudah seperti itu, maka mudah bagi kamu mengajarkan agama Islam kepada siapa saja. Yang telah kamu dapatkan, itulah yang disebut Rabithah Mursyid. Seorang yang mendapatkan Rabithah Mursyid, orang itu akan terus mendapat taufiq dan hidayah Allah, dan diberi ilmu hikmah, terbuka rahasia Allah dan berbahagialah orang i tu dunia akhirat, insya Allah. Kita akan berpisah secara lahir, tetapi batin kita tidak berpisah. Demikian ungkapan yang sangat propagandis yang ditulis oleh Syaikh Haji Jalaluddin, seperti yang dikutip Hawash Abdullah.
            Prof. Dr. Hamka pernah menulis dalam sebuah bukunya yang berjudul Ayahku, bahwa Syaikh Burhanuddin Ulakkan, yang merupakan murid Syaikh Abd. Rauf bin Ali Fansuri, kembali ke kampung halamannya pada tahun 1100 H dan bertepatan dengan tahun 1680 M. Sejarah telah mencatat bahwa beliau meninggal dunia di Ulakkan pada tahun 1111 H. atau 1691 M. Belakangan hari kemudian, tokoh ini menjadi sangat termasyhur dengan panggilan Syaikh Burhanuddin Ulakkan.
            Mengenai riwayat hidupnya pernah ditulis oleh Tuan Guru Haji Harun al-Thubuhi Farmayani, dan telah diterbitkan.
            Dalam buku kecil itu disebutkan bahwa Syaikh Burhanuddin Ulakkan adalah berasal dari Guci. Syirajuddin Abbas juga pernah menulis seperti itu. Terakhir sekali tentang tokoh sufi ini dapat pula dibaca dalam tulisan Sidi Ghazalba yang dimuat dalam buku Masjid Pusat Ibadat dan Kebudayaan Islam.    Dari tulisan Dr. Syaikh Haji Jalaluddin dapat juga disimpulkan keterangan bahwa Syaikh Burhanuddin Ulakkan kembali dari Aceh dengan berjalan kaki ke kampung halamannya. Mula-mula ia sampai di negeri Tiku, Kabupaten Agam sekarang. Di Tiku itu ia kawin dengan seorang perempuan setempat. Dari perkawinarvnya itu dia mendapatkan anak laki-laki yang diberi nama Sidi Abdullah Faqih, yang kelak anak ini melanjutkan ajaran orang tuanya. Sidi Abdullah Faqih mendapat anak bernama Sidi Abdul Jabbar. Syaikh Abdul Jabbar mendapat anak bernama Sidi Syaikh Ilyas. Sidi Syaikh Ilyas mendapat anak bernama Sidi Yusni, dan konon kabarnya tahun 1930 masih hidup dan menjadi pedagang kain batik Indonesia di Kuala Lumpur.
            Sidi Yusni adalah murid Syaikh Jalaluddin dan beliau sangat fanatik kepada Syaikh Haji Jalaluddin tersebut. Mungkin ayahnya Sidi Ilyas dan beliau sendiri sebagai keturunan Burhanuddin Ulakkan yang mengamalkan Tarekat Qadariyah dan Naqsyabandiyah. Padahal, sebelumnya semuanya mengamalkan Tarekat Syathariyah. Diceritakan pula bahwa Sidi Syaikh Ilyas yang merupakan cicit Syaikh Burhanuddin Ulakkan ini yang mempersatukan antara tarekat dengan ilmu pencak silat, sebagai alat untuk mempertahankan diri.
            Hingga kini kubur Syaikh Burhanuddin Ulakkan masih diziarahi orang, lebih-lebih di hari Rabu akhir bulan Shafar. Dr. Syaikh Haji Jalaluddin selaku Ketua Umum seumur hidup PTI (Persatuan Pembela Tarekat Islam) mengajak seluruh pengikutnya setelah selesai kongres PPTI yang ke-16 mengadakan ziarah ke makam Syaikh Burhanuddin di Ulakkan. Mereka meyakini bahwa Burhanuddin Ulakkan adalah salah seorang wali Allah yang memiliki keistimewaan.
            Salah satu tradisi yang pernah terjadi di makam Ulakkan itu yang sampai sekarang masih terkenal adalah "Basapa". Tentang hal ini biasa kita lihat dari tulisan Sidi Ghazalba, yang pernah mencatat sebagai berikut. "Syaikh Burhanuddin wafat 10 Shafar 1111 Hijriyah. Karena 10 Shafar itu tidak tentu jatuh pada hari Rabu, maka ziarah ke makam pembangun Islam di Minangkabau i tu yang dilakukan secara serempak hampir dari setiap pelosok wilayah Minangkabau, dilakukan dari hari Rabu sesudah 10 Shafar tiap tahunnya. Tradisi berziarah seperti ini terkenal dengan sebutan "Basapa" (bershafar) yang dilakukan serempak oleh puluhan ribu orang sebelum Perang Pasifik. Jalan di antara Pariaman dan Ulakkan dipenuhi oleh iringan orang-orang pulang pergi berziarah, yang jumlah panjangnya mencapai kira-kira sepuluh kilometer. Namun, ada juga kaum muda di Minangkabau yang menolak "Basapa", demikian tulis Sidi Ghazalba.
            Banyak orang yang kemudian mencela tradisi Basapa yang dilakukan terutama oleh aliran Tarekat Syathariyah. Akan tetapi kalau kita selidiki lebih jauh, ternyata bukan saja ordo Tarekat Syathariyah yang melakukan demikian, tetapi juga ordo Tarekat Qadiriyah, ordo Tarekat Naqsyabandiyah, juga pengikut mazhab Syafi'i, bahkan orang-orang yang mengaku berdasarkan Alquran dan hadis (tegasnya kaum muda) pun tidak kurang pula mengerjakan tradisi Basapa di kubur Syaikh Burhanuddin Ulakkan tersebut.
             Demikian penjelasan tentang Syaikh Burhanuddin Ulakkan, seorang yang telah tercatat sebagai ulama besar dari Mazhab Syafii, pengikut faham Ahlussunnah wal Jama'ah, penganjur dan penyebar Tarekat Syathariyah di daerah Minangkabau (Sumatera Barat) dan sekitarnya, yang telah banyak mencurahkan seluruh hidupnya untuk mendakwahkan Islam semata. Dari usaha-usaha besarnya itu di belakang hari kemudian ternyata diikuti pula oleh ulama-ulama yang berasal dari Sumatera Barat lainnya secara berantai yang tidak putus-putusnya hingga waktu sekarang i n i . Misalnya saja; kita mengenal nama-nama popular yang berasal dari Minangkabau, di antaranya Syaikh Isma'il bin Abdullah Minangkabau, Syaikh Ahmad Khatib bin Abdul Latif Minangkabau, Syaikh Sulaiman al-Rasuli Candung, Syaikh Jamil Jaho, Dr. Syaikh Haji Jalaluddin, Syaikh Jambek, Dr. Abdul Malik Amrullah, Kyai Haji Syirajuddin Abbas, Prof. Dr. Hamka, dan lain-lain.
            Dari uraian di atas membuktikan bahwa Sumatera Barat menempati posisi yang sangat penting dalam penyebaran Islam di Indonesia. Tokoh-tokoh besar yang disebutkan di atas membuktikan betapa besar peran Sumatera Barat dalam penyebaran Islam.
B.     Syaikh Ismail bin Abdullah al-Khalidi
            Selain Syaikh Burhanuddin Ulakkan, di Sumatera Barat muncul juga seorang sufi yang termasyhur terutama di daerah Minangkabau dan sekitarnya. Tokoh yang dimaksud adalah Syaikh Ismail bin Abdullah al-Khalidi, yang kemudian lebih dikenal dengan nama Ismail al-Minangkabawi. Tokoh besar yang hidup antara tahun 1125-1260 i n i sering dipandang sebagai penyebar Tarekat Naqsyabandiyah di wilayah Minangkabau.
            Ismail al-Minangkabawi merupakan seorang ahli fiqih, ahli tasawuf, dan ahli ilmu kalam (teologi). Dalam salah satu sumber disebutkan bahwa Syaikh Ismail al-Minangkabawi ini belajar dan mengaji Alquran di surau kampungnya semenjak masih kecil. Setelah i tu di bawah bimbingan guru dan orang tuanya, dia belajar membaca kitab-kitab Arab-Melayu dan kitab berbahasa Arab yang mencakup pelajaran ilmu fiqih, tasawuf, kalam, tafsir, hadis, dan ilmu bahasa. Kemudian dia meneruskan pendidikannya ke tanah suci Makkah dan Madinah selama hampir 35 tahun. Cukup banyak ilmu yang diperoleh ketika dia belajar di sana.
             Guru-gurunya tercatat cukup banyak, di antaranya yang terkenal adalah Syaikh Ataillah bin Ahmad al-Azhari (ahli f iqih Mazhab Syafi’i ), Syaikh Abdullah al-Syarqawi (mantan syaikh al-Azhar dan ahli fiqih Mazhab Syafi'i), Syaikh Abdullah Affandi (tokoh tarekat Naqsyabandiyah), Syaikh Khalid al-Usmani al-Kurdi (seorang pembimbing rohani) , dan Syaikh Muhammad bin Ali al-Syanwani, seorang ahli ilmu kalam.
            Usai menyelesaikan pelajarannya, Ismail al-Minangkabawi mulailah menuangkan ilmu pengetahuannya dari satu tempat ke tempat yang lain, dari satu pengajian ke pengajian lainnya. Syaikh Husein bin Ahmad ad-Dawsari al-Basri, salah seorang muridnya, pernah menyatakan bahwa dia bertemu dengan gurunya i tu di pelabuhan Bahrain dan belajar Tarekat Naqsyabandiyah kepadanya secara intensif. Kemudian pelajaran tersebut diteruskan di sebuah desa yang tidak diketahui namanya, di luar kota Basra, sampai keduanya berpisah di desa tersebut sekian lama. Bertahun-tahun mengembara guna menuntut ilmu di Timur Tengah, hingga kemudian tiba waktunya bagi Syaikh Ismail al-Minangkabawi memutuskan untuk kembali ke tanah air.
            Dalam kepulangannya, Syaikh Ismail al-Minangkabawi langsung menuju ke kampung halamannya yakni Simabur (Batusangkar). Di tempat inilah, dia lantas membuka sebuah majelis pendidikan agama Islam dan mengajarkan ilmu usuluddin, ilmu syariat serta ilmu tarekat. Dalam ilmu Usuluddin, dia mengajarkan ilmu kalam Asyariyah terutama pelajaran sifat dua puluh. Dalam ilmu syariat ia mengajarkan fiqih mazhab Syafi'i. Sedangkan dalam ilmu tarekat, dia mengembangkan Tarekat Naqsyabandiyah al-Khalidiyah. Sejak masa itulah Tarekat Naqsyabandiyah berkembang pesat di Sumatera Barat dan sekitarnya. Banyak orang sekitarnya dan para pendatang yang menjadi penganut tarekat yang dibawanya.
            Atas usaha-usahanya itulah, maka Syaikh Ismail sering dipandang sebagai orang pertama yang mengembangkan Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah di Minangkabau. Bila ditilik perkembangan tarekat di wilayah Sumatera Barat dan sekitarnya, termasuk Riau, Jambi, Bengkulu dan Tapanuli Selatan, maka jauh sebelum adanya Tarekat Naqsyabandiyah
yang diusung Syaikh Ismail, telah berkembang Tarekat Syathariyah yang berpusat di Ulakan, Pariaman. Yang membawa dan menyebarluaskan Tarekat Syathariyah ini adalah Syaikh Burhanuddin Ulakkan, murid Syaikh Abdur Rauf Singkel. Dalam praktiknya, Tarekat Syathariyah ini lebih mementingkan amal batin ketimbang amal lahir. Hal ini jelas berbeda dengan Tarekat Naqsyabandiyah yang menyeimbangkan amal lahir dengan amal batin.
            Tarekat Naqsyabandiyah memiliki dua aliran, yakni tingkat Naqsyabandiyah Muzhariyah dan Naqsyabandiyah Khalidiyah. Aliran pertama berasal dari Syaikh Muhammad Muzhar al-Ahmadi, seorang mursyid Tarekat Naqsyabandiyah, sementara aliran kedua berasal dari Syaikh Khalid al-Usmani al-Kurdi yang merupakan salah seorang mursyid Tarekat Naqsyabandiyah yang banyak melakukan modifikasi terhadap tarekat tersebut. Aliran kedua inilah yang dikcmbangkan oleh Syaikh Ismail al-Minangkabawi. Upaya pengembangan tarekat itu tidak hanya terbatas di kampong halamannya saja, tapi meluas hingga keluar wilayah Sumatera Barat.
            Sasterawan terkenal, Raja Ali Haji menyebut dalam bukunya bahwa Syaikh Ismail al-Minangkabawi sering datang ke
kerajaan Melayu Riau ketika ia menjadi raja muda Riau. Bahkan, seringkali dia sendiri yang menjemput Ismail al- Minangkabawi di pelabuhan dan kemudian membawanya ke istana kerajaan. Kemudian, hampir seluruh kerabat keluarga istana sering berkumpul untuk mendengarkan nasihat-nasihat dan wejangan-wejangan dari ulama terkemuka itu.
            Di samping karena keluasan wawasan pengetahuannya,
Ismail al-Mingangkawabi juga begitu dihormati di wilayah kerajaan Melayu Riau karena di silsilah keturunannya dia memiliki pertalian darah dengan orang-orang Melayu dan Bugis di Pulau Penyengat dan di Negeri Sembilan. Buya Hamka dalam bukunya Dari Perbendaharaan Lama, bahwa Raja Muhammad Yusuf (1858-1899), yaitu Yamtuan muda Riau dari keturunan Bugis, menambahkan al-Khalidi di ujung namanya.
            Hal tersebut sekaligus menandakan bahwa dia adalah pengikut Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiah. Tarekat tersebut dipelajarinya langsung dari Syaikh Ismail al-Minangkabawi yang seringkali datang ke Pulau Penyengat. Ismail al-Minangkabawi pun ternyata termasuk tokoh sufi yang raj in menulis buku-buku. Di antara karyanya adalah menyangkut amal keagamaan sehari-hari yang dilaksanakan masyarakat, terutama dalam bidang akidah, fiqih serta tasawuf.          Karya tulisnya yang baru ditemukan ada dua, yakni Kifayah al-Gulam fi Bay an Arkan al-Islam wa Syumtih (Kecukupan bagi Anak dalam Penjelasan tentang Rukun Islam dan Syaratsyaratnya) serta Risalah Muqaramah Urfiah wa Tauziah wa Kamaliah (Risalah tentang Niat Shalat). Kitab pertama berisi penjelasan tentang rukun Islam, rukun iman, sifat Tuhan, dan penjelasan tentang kewajiban Muslim dalam kehidupan sehari-hari.
            Kitab kedua merupakan buku kecil yang membicarakan keterpaduan antara niat dan lafal takbiratul ihram pada permulaan pelaksanaan shalat. Sebagai penganut aliran Asy'ariyah, Ismail al-Minangkabawi mewajibkan setiap Muslim untuk mengenal Tuhan menurut metode kaum Asyariyah, yakni diawali dengan pengenalan sifat-sifat Tuhan. Dia berpendapat Tuhan tidak dapat dikenal kecuali diawali dengan pengenalan terhadap sifat-sifat-Nya.
            Setelah i t u , umat Muslim diwajibkan mengetahui rukun iman lainnya. Adapun sebagai penganut mazhab Syafi'i, dia memegang ketat ajaran pada mazhab tersebut. Dalam bukunya berjudul Risalah Muqaramah, ia mempertahankan pendapat kalangan ulama mazhab Syafi'i tentang kesertaan niat dan ritual yang didasarkan pada definisi niat masyhur dalam nu.-hab Syafi'i, yakni Qasd al-Sya'i Muqtarinan hi Fi'lih (menyengaja sesuatu disertai dengan mengerjakannya).
            Ismail al-Minangkabawi juga diakui sebagai mursyid Ia ickat Naqsyabandiyah yang silsilah pengambilan tarekatnya Hiimpai kepada Nabi Muhammad Saw. Kelebihannya dalam tarekat ini ialah dia menerima baiat dari dua syaikh mursyid, yakni Syaikh Khalid al-Usmani dan Syaikh Abdullah Affandi. Kiprahnya dalam mengembangkan tarekat ini di wilayah Sumatera Barat dinilai sangat berhasil. Banyak penduduk
Bekitarnya yang dengan sukarela menganut tarekat yang dibawakan Syaikh Ismail al-Minangkabawi ini .
C.    Syaikh Muhammad Jamil Jambek
            Ulama pelopor pembaruan Islam dari Sumatera Barat awal abad 20 ini dikenal juga sebagai ahli ilmu falak terkemuka. Nama Syaikh Muhammad Jamil Jambek lebih dikenal dengan sebutan Syaikh Muhammad Jambek, dilahirkan dari keluarga bangsawan. Dia juga merupakan keturunan penghulu. Ayahnya bernama Saleh Datuk Maleka, seorang kepala nagari Kurai, sedangkan ibunya berasal dari Sunda.
            Masa kecilnya tidak banyak diketahui. Namun, yang jelas Syaikh Muhammad Jambek mendapatkan pendidikan dasarnya di Sekolah Rendah yang khusus mempersiapkan pelajar untuk masuk ke sekolah guru. Kemudian, dia dibawa ke Makkah oleh ayahnya pada usia 22 tahun untuk menimba ilmu.
            Ketika itu dia berguru kepada Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau. Semula Syaikh Muhammad Jambek tertarik untuk mempelajari i l m u sihir, tapi dia disadarkan dan d i – insyafkan oleh gurunya. Selama belajar di tanah suci, banyak ilmu agama yang dia dapatkan. Antara lain yang dipelajari secara intensif adalah tentang ilmu  tarekat serta memasuki suluk di Jabal Abu Qubais.
            Dengan pendalaman tersebut Syaikh Muhammad Jambek menjadi seorang ahli tarekat dan bahkan memperoleh ijazah dari tarekat Naqsabandiyyah-Khalidiyah. Namun, dari semua ilmu yang pernah didalami yang pada akhirnya
membuatnya terkenal adalah tentang ilmu falak.
            Keahliannya di bidang ilmu falak mendapat pengakuan luas di Makkah. Oleh sebab itu , ketika masih berada di tanah suci, Syaikh Muhammad Jambek pun mengajarkan ilmunyai tu kepada para penuntut ilmu dari Minangkabau yang belajar di Makkah seperti Ibrahim Musa Parabek (pendiri perguruan Tawalib Parabek) serta Syaikh Abbas Abdullah (pendiri perguruan Tawalib Padang Panjang).
            Pada tahun 1903, dia kembali ke tanah air. Ia pun memilih mengamalkan ilmunya secara langsung kepada masyarakat; mengajarkan ilmu tentang ketauhidan dan mengaji. D i antara murid-muridnya terdapat beberapa guru tarekat. Lantaran itulah Syaikh Muhammad Jambek dihormati sebagai Syaikh Tarekat.
             Setelah beberapa lama, Syaikh Muhammad Jambek berpikir melakukan kegiatan alternatif. Hatinya memang lebih condong untuk memberikan pengetahuannya, walaupun tidak melalui lembaga atau organisasi. Dia begitu tertarik pada usaha meningkatkan keimanan seseorang. Hingga kemudian dia mendirikan dua buah surau. Yakni, Surau Tengah Sawah dan  Surau Kamang keduanya dikenal sebagai Surau Inyik jambek.
            Kiprahnya mampu memberikan warna baru di bidang kegiatan keagamaan di Sumatera Barat. Mengutip Ensiklopedi islam, Syaikh Muhammad Jambek juga dikenal sebagai ulama yang pertama kali memperkenalkan cara bertablig di muka umum. Barjanji (rawi) atau marhaban (puji-pujian) yang biasanya dibacakan di surau-surau saat peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw., digantinya dengan tablig yang menceritakan riwayat lahir Nabi Muhammad dalam bahasa Melayu.    Demikian halnya dengan kebiasaan membaca riwayat isra mi'raj Nabi Muhammad dari kitab berbahasa Arab. Dia menggantinya dengan tablig yang menceritakan peristiwa tersebut dalam bahasa Melayu, sehingga dimengerti oleh seluruh lapisan masyarakat. Termasuk juga tradisi membaca kitab, digantinya dengan membahas masalah kehidupan sehari hari. Menurutnya, semua i t u dilakukan karena agama diperuntukkan bagi siapa saja yang dapat memahaminya. Ia pun dikenal sebagai ulama yang lebih bergiat di aktivitas tablig dan ceramah.
            Seiring perjalanan w a k t u , sikap dan pandangannya terhadap tarekat mulai berubah. Syaikh Muhammad Jambek kini tidak lagi tertarik pada tarekat. Pada awal tahun 1905, ketika diadakan pertemuan ulama guna membahas keabsahan tarekat yang berlangsung di Bukit Surungan, Padang panjang, Syaikh Muhammad berada di pihak yang menentang tarekat. Dia "berhadapan" dengan Syaikh Bayang dan Haji Abbas yang membela tarekat.
            Kemudian dia menulis buku mengenai kritik terhadap tarekat berjudul Penerangan Tentang Asal Usui Thariqatu al Naqsyabandiyyah dan Segala yang Berhubungan dengan Dia, terdiri atas dua jilid. Salah satu penjelasan dalam buku itu, yakni Tarekat Naqsyabandiyyah diciptakan oleh orang dari Persia dan India. Syaikh Muhammad Jambek menyebut orang-orang dari kedua negeri itu penuh takhayul dan khurafat yang makin lama makin jauh dari ajaran Islam.
            Buku lain yang ditulisnya berjudul Memahami Tasawuf dan Tarekat dimaksudkan sebagai upaya mewujudkan pembaruan pemikiran Islam. Akan tetapi secara umum dia bersikap tidak ingin bermusuhan dengan adat-istiadat Minangkabau. Tahun 1929, Syaikh Muhammad Jambek mendirikan organisasi bernama Persatuan Kebangsaan Minangkabau dengan tujuan untuk memelihara; menghargai, dan mencintai adatistiadat setempat.
            Di samping juga untuk memelihara dan mengusahakan agar Islam terhindar dari bahaya yang dapat merusaknya. Dia juga turut menghadiri kongres pertama Majelis Tinggi Kerapatan Adat Alam Minangkabau tahun 1939. Yang tak kalah pentingnya dalam perjalanan dakwahnya pada masa pendudukan Jepang, Syaikh Muhammad Jambek mendirikan Majelis Islam Tinggi (MIT) berpusat di Bukit tinggi.























KESIMPULAN

            Berdasarkan penjabaran di atas tentunya banyak sekali perbedaan di antara aliran-aliran yang di bawa oleh para tokoh tasawuf di Sumatra Barat, namun perlu kita ingat juga bahwa tasawuf adalah bidang kajian yang berhubungan dengan pembinaan mental rohaniah agar dekat dengan Tuhan.
            Mengakui adanya sumber islam dalam tasawuf tidak lantas berarti mengingkari pengaruh sumber-sumber asing. Akan tetapi meletakan pengaruh tersebut pada proporsi yang sebenarnya dan tidak dibesar-besarkan. Sebaiknya tidak baik juga apabila mengedepankan sumber-sumber asing saja, padahal banyak sekali dalil yang bisa digunakan acuan dalam Al-Quran dan Al-Hadis.
Bertasawuf bertujuan memperoleh hubungan secara sadar antara manusia dengan tuhannya untuk mendekatkan diri kepadanya, dengan mengikuti konsep-konsep yang ada dalam tasawuf.
            Adanya tasawuf menjadi jalan keluar dari kemelut perpolitikan kaum muslimin yang telah terjadinya pembunuhan pada Khalifah-khalifah. Sepeninggal sang Khalifah umat islam saat itu terlena dengan konflik yang tiada henti dan banyak melakukan kemunkaran.
            Secara garis besar perkembangan tasawuf baik di dunia islam maupun di Indonesia sangat dipengaruhi oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan keadaan social politik umat islam saat itu.
            Tidak perlu ada pertentangan antara ajaran tasawuf yang tidak sepenuhnya ada dalam ajaran syariat islam. Hal yang penting adalah bagaimana kita selalu berupaya untuk mendekatkan diri keppada Allah SWT dengan menjadikan syariat islam sebagai pedoman untuk mencapai ma’rifat.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ah lo mah babaturan BTB

Pagi shob.. setelah sekian lama kita berkelana di muka bumi yag kita cintai ini, pastinya menumkan dan merasakan berbagai hal. dalam istilah IPS kita sebagai makhluk sosial tidak bisa hidup tanpa bantuan orang lain, akan sangat perlu bantuan dan kerjasama dengan orang lain dalam setiap aspek kehidupan, seiring dengan berjalnnya waktu yang kita lewati kita akan sering berkenalan dengan orang dan disitulah terjalin istilah pertemanan / sahabat bahkan yang lebih jauh ialah menjadi pasangan hidup (suami/istri)

Makalah Perkembangan Lansia

KATA PENGANTAR Pertama-tama marilah kita panjatkan puji serta syukur kita kepada Tuhan yang Maha Esa, yang dimana sampai saat ini rahmat dan anugrah-Nya masih selalu tercurah pada kita, salawat dan salam semoga tetap tercurah kepada nabi Muhammad SAW, kepada keluarga dan para sahabat-sahabatnya. Penulis sebagai penyusun makalah Perkembangan moral dan keberagamaan pada lansia ini bertujuan untuk memberikan pemaparan tentang perkembangan moral dan keberagamaan yang terjadi pada lansia (lanjut usia), selain hal itu makalah ini dibuat sebagai salah satu tugas mata kuliah Psikologi perkembangan. Semoga makalah ini bisa bermanfaat, terutama bagi mahasiswa yang sedang mempelajari mata kuliah psikologi perkembangan dan umumnya untuk seluruh pembaca. Bandung, 25 Desember 2011 Penyusun BAB I PENDAHULUAN A.       Latar Belakang Perkembangan menunjukan suatu proses tertentu yaitu suatu proses yang menuju kedepan dan tidak dapat diu