Langsung ke konten utama

Struktur Insan dalam pandangan Al-Quran


Struktur Insan Dalam Pandangan Qur’aniyah
Peta kejiwaan dan mekanisme interaksi antar modus-modus jiwa, dalam kerangka psikologi yang dibangun secara ilmiah, tampak tidak jelas dan banyak menyisakan lubang-lubang di sana sini. Dalam literatur barat sendiri penggunaan istilah-istilah seperti soul, spirit, heart, mind, dan intellect sering campur aduk ketika mengidentifikasi persoalan-persoalan yang bersentuhan dengan konsepsi kejiwaan.
Istilah psycho sendiri yang dipakai dalam konstruk kata psikologi (psychology) berasal dari kata Yunani psyché (Ynch) yang artinya “nafas kehidupan”, dalam mitologi Yunani digambarkan sebagai kupu-kupu. Dalam hal ini, kupu-kupu merupakan perlambang jiwa yang bebas terbang setelah menempa diri dengan “puasa”, keluar dari bungkus kepompongnya. Dua sayap kupu-kupu yang membawa dirinya terbang meninggalkan “bumi” melambangkan dua akal, akal jiwa dan akal raga; dua akal tersebut eksis secara potensial di dalam tubuhnya saat ia sebagai “ulat”, persoalan yang sama dalam representasi yang berbeda bisa dikaji dalam “Alegori Gua” Plato (428-347 SM)[3]
.
Dalam konsepsi pramodern, manusia dibagi atas tiga entitas, corpus, animus, danspiritus[3]. Animus berasal dari bahasa Yunani anemos yang bermakna sesuatu yang hidup (bernafas) yang ditiupkan ke dalam corpus (wadah atau bungkus).Maka corpusadalah body (raga/jasad); dan spiritus adalah spirit (ruh); dan animus identik denganpsyche yang bermakna soul (jiwa/nafs).Dewasa ini istilah jiwa yang dipakai dalam psikologi telah mengalami penyempitan makna.Jiwa dalam terminologi psikologi modern lebih ke aspek psikis, dimana aspek psikis ini lebih merupakan riak gelombang permukaan di atas lautan dalam yang disebut jiwa. Fungsi ruh terhadap jiwa dan fungsi ruh terhadap jasad bisa dilihat dalam referensi[4].
Dalam terminologi Qur’aniyah, struktur manusia dirancang sesuai dengan tujuan penciptaan itu sendiri, dimana jiwa (soul) yang dalam istilah Al-Quran disebut nafsmenjadi target pendidikan Ilahi. Istilah nafs didalam Islam sering dikacaukan dengan apa yang dalam bahasa Indonesia disebut hawa nafsu, padahal istilah hawa dalam konteks Qur’ani memiliki wujud dan hakekat tersendiri. Aspek hawa dalam diri manusia berpasangan dengan apa yang disebut sebagai syahwat. Sedangkan apa yang dimaksud dengan an-nafs amara bissu’ dalam surat (Yusuf [12]: 53) adalah nafs(jiwa) yang belum dirahmati Allah SWT:“Dan aku tidak membebaskan nafsku, sesungguhnya nafs itu cenderung mengarah kepada kejahatan, kecuali yang dirahmati oleh Rabb-ku.”
Hawa merupakan kecenderungan kepada yang lebih bersifat non-material, yang berkaitan dengan eksistensi dan harga diri, persoalan-persoalan yang wujudnya lebih abstrak. Hawa merupakan entitas,produk persentuhanantara nafs dan jasad.
Sedangkan syahwat merupakan kecenderungan manusia pada aspek-aspek material (AliImran [3]: 14), dan ini bersumber pada jasad insan yang wujudnya memang disusun berdasarkan unsur-unsur material bumi (air, tanah, udara, api).
Nafs manusia diuji bolak-balik di antara dua kutub, kutub jasmaniah yang berpusat di jasad dan kutub ruhaniyah yang berpusat di Ruh al-Quds.Ar-Ruh ini beserta tiupan dayanya (nafakh ruh) merupakan wujud yang nisbatnya ke Martabat Ilahi danmengikuti hukum-hukum alam Jabarut. Aspek ruh ini (jamak arwah) tetap suci dan tidak tersentuh oleh kelemahan-kelemahan material dan dosa, spektrum ruh merupakan sumber dari segala yang maujud di alam syahadah inimaka tak ada istilah tazkiyyatur-ruhiyyah atau mi’raj ruhani.
Al-Ghazali dalam Kitab Ajaaibul Qulub[5] jelas membedakan istilah-istilah seperti qalb(rasa jiwa, bukan rasa jasadiah/psikis), nafsruh, dan ‘aql; dimana istilah-istilah ini dalam konsepsi psikologi modern tak terpetakan dengan tegas karena berada pada tataran jiwa yang bersifat malakut, atau secara psikologi analitik berada di ruang ketaksadaran.
Prinsipnya, apa yang disebut sebagai manusia sempurna (insan kamil) dalam terminologi Al-Qur’an, minimal manusia yang sudah memiliki struktur seperti tercantum dalam An-Nur [24]: 35, seorang Insan Ilahi. Manusia dikatakan sebagaikhalifatullah (wakil Allah) di bumi jika ia telah mencapai state tersebut, ia membawa kuasa Allah dan bercitra Ar-Rahman.
“Allah cahaya petala langit dan bumi.Perumpamaan cahaya-Nya bagaikan sebuah misykat yang didalamnya terdapat pelita terang. Pelita tersebut di dalam kaca, kaca itu seolah kaukab yang berkilau dinyalakan oleh (minyak) dari pohon yang banyak berkahnya, pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur dan tidak pula di sebelah barat, yang minyaknya saja hampir-hampir menerangi walau tanpa disentuh api. Cahaya di atas cahaya, Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa-siapa yang Dia kehendaki, dan Allah membuat perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”.
Ayat tersebut mengisyaratkan tentang manusia, dimana di dalam jasad (misykat)-nya terdapat nafs (jiwa) yang qalb (zujajah)-nya bercahaya seperti bintang karena telah dinyalakan dari dalam dengan api Ruh al-Quds (misbah). Adapun misykat sifatnya kusam dan tak tembus pandang, sebagai perlambang jasad yang berasal dari alammulk (ardhiyah), merupakan manifestasi terendah dari kehadiran Al-Haq dalam alamsyahadah.
Bola kaca zujajah yang jernih tembus pandang melambangkan qalb, merupakan aspek rasa dari si nafs yang berasal dari alam malakut. Si nafs melakukan serangkaian proses tazkiyyatun-nafs (pensucian jiwa) sehingga jernihlah qalbnya dantampaklah titik-apinya menyala di inti jiwa. Jika insan dapat mencapai state seperti digambarkan An-Nur [24]: 35, maka insan tersebut dinamai syuhada (saksi Allah sejati) karena telah berperan sebagai cahaya yang menampakkan khazanah Ilahi sebagai Harta Terpendam (Kanzun Makhfiyan)[6]. Ayat di atas menyatakan strukturtarget yang harus manusia capai walau sulit.
Rasulullah SAW menyinggung tentang eksistensi jiwa (nafs) yang qalbnya telah diperkuat oleh api Ruh al-Quds, sebagai berikut:
“Qalb itu ada empat macam, pertama, qalb yang bersih, di dalamnya terdapat pelita yang bersinar cemerlang, itulah qalb al-mu’min; kedua, qalb yang hitam terbalik, itulah qalb orang kafir; ketiga, yang terbungkus dan terikat pada bungkusnya, itulah qalb orang yang munafik; dan keempat, qalb yang tercampur, di dalamnya terdapat iman dan nifaq.”
Ruh al-Quds yang dilambangkan oleh pelita yang menyala di dalam qalb, merupakan utusan-Nya di dalam diri, yang membawa ketetapan-ketetapan hidup (amr) si nafs di dunia ini.Pengutusan rasul yang batin ke dalam inti dari nafs ini lebih dari sekedar simbol bahwa pengabdiannya diterima (diridhai).Ruh al-Quds merupakan juru nasehat si nafs dari dalam qalb, dan nafs yang telah diperkuat dengan ruh ini, selain disebut sebagai an-nafs an-natiqah (jiwa yang berkata-kata disebabkan adanya juru nasehat dari dalam qalbnya), juga disebut sebagai an-nafs al-muthmainah.
Disebutmuthmainnah karena si nafs tersebut telah stabil dalam orbit dirinya (qudrahdiri/swadharma), di sini ruh tadi disebut pula sebagai sakinah (syekinah dalam bahasa Ibrani) yang diturunkan ke qalb yang memperoleh kemenangan (al-fathamr.
“Dialah yang telah menurunkan as-sakinah ke dalam qalb orang-orang al-mu’min, agar keimanan mereka bertambah di samping keimanan yang telah ada” (Al-Fath [48]: 4).
“Apabila Allah menghendaki kebaikan (khairan) atas seorang hamba, maka diadakannya pemberi pelajaran dari qalb-nya” (Rasulullah SAW).
“Barang siapa memiliki juru-nasehat dari dalam qalbnya, berarti Allah telah memberi seorang penjaga (hafidh) atasnya” (Rasulullah SAW).
“Seandainya syaithan-syaithan tidak mengelilingi qalb anak Adam, niscaya mereka dapat melihat ke malakut langit” (Rasulullah SAW).
Qalb menjadi hitam dan terbalik jika ia mempertuhankan hawa nafsu, mengingkaridan mendustakan kebenaran (al-haq). Hati yang seperti ini akan memandang bagus atas segala yang mereka kerjakan, karena tertutup ilusi dan waham syaithan. Adapun qalb si munafik terikat pada bungkus jasadiyah, merupakan qalb yang terlalu mencintai dunia (terikat kepada syahwat jasmaniah); pandangan batinnya tertipu oleh nilai-nilai estetik fisik dengan tanpa melihat hakikatnya, maka ia bisa ‘menjual’ agamanya demi kesenangan sesaat.
Seperti telah diulas tadi, bahwa si nafslah yang menjadi fokus pendidikan Ilahi. Alam dunia ini bagi nafs sebenarnya hanya sebuah jenjang ’sekolah dasar’, Rasulullah SAW berkata bahwa alam dunia ini hanyalah sebuah jembatan kecil yang menghubungkan dua alam besar, dan si nafs diuji dalam pengembaraannya di ‘oase’ ini; sementara ia harus menyelesaikan sejumlah jenjang ’sekolah lanjutan’ lagi. Di alam dunia, jasad atau raga insan berperan sebagai kendaraan bagi si nafs untuk menemukan al-haq di bumi jagat ini sebagai pelajaran pertamanya.Si nafs harus mengembara di muka bumi hingga terbuka kepadanya malakut langit, atau hakikat dari segala yang wujud (khalq) di alam syahadah, dan hakikat dari setiap khalq adalah al-haq.
“Akan Kami perlihatkan ayat-ayat Kami di ufuk (semesta) dan di dalam nafs masing-masing, hingga jelaslah bagi mereka itu bahwa itu adalah al-haq” (Al-Fushshilat [41]: 53).
“Tiap segala sesuatu pasti binasa, kecuali Wajah-Nya” (Al-Qashash [28]: 88).
Sebelum memahami bahwa Dia ada di mana-mana dan Dia lebih dekat dari urat leher, maka si nafs harus melihat kepada aspek wajah-Nya berupa Al-Haq; ia harus melihat bahwa hakikat dari segala sesuatu di alam semesta, berupa ayat-ayat Kauniyyah, adalah al-haq; juga hakikat dari apa yang ada di dalam nafs-nya tak lain adalah al-haq yang mengalir dari Martabat Ilahi. Sebelum si nafs dimasukkan ke dalam kurungan jasad (corpus) janin di dalam rahim ibu, maka si nafs dipanggil terlebih dulu ke hadapan Allah SWT, katakanlah ini adalah status nafs ketika di alam Nur atau alamAlastu.
“Dan ketika Rabb-mu hendak mengeluarkan keturunan bani Adam dari sulbi mereka, dan Allah telah mengambil kesaksian atas nafs-nafs mereka, ‘Bukankah Aku ini Rabb-mu?’ mereka menjawab ‘Benar! Kami menyaksikan’ Agar di hari kiamat kamu tidak berkata: ‘Sesungguhnya kami lengah (atas kesaksian) ini’” (Al-Araf [7]: 172).
Sebelum nafs diturunkan di alam dunia, maka dalam kesaksian ini qadha danqadarnya ditetapkan terlebih dahulu: “amal-amal insan dikalungkan pada ‘leher’nya”(Q.S Al-Isra’ [17]:13). Ketetapan-ketetapan ini berupa misi hidup (swadharma) yang harus dimanifestasikan di muka bumi, ini merupakan amanah Allah yang telah digariskan sesuai dengan bakat langit si nafs (swabhawa), misi hidup setiap insan bersifat unik tidak ada yang sama satu dengan lainnya. Misi (dharma) si nafs harus ditemukan dan dijalankan di bumi ini, tidak ada perubahan dalam dharma si nafs, karena bakat langit (swabhawa) si nafs merupakan fitrah yang tidak berubah, dansebagian besar manusia tidak mengetahui ketetapan dirinya karena qalb-nya terpendam dosa.
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada ad-Din. Fitrah Allah, yang Dia telah menciptakan manusia menurut fitrah ini, tidak ada perubahan pada ciptaan Allah. Inilah ad-Diin yang teguh, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui” (Ar-Ruum [30]: 30).
Jika tanpa Rahmat Allah SWT, ketetapan-ketetapan Allah yang tertulis di dada si nafs tidak akan terbuka, dan ini merupakan rizqi batin manusia yang kuncinya ada di dalam nafs. Sementara untuk mencapai ini sulit karena harus menggeser pusat kesadaran dari ego ke nafs (self).
Dari alam Nuur, setelah 120 hari penyusunan janin bayi, maka nafs yang telah diamanahi qudratullah beserta ruh yang akan mengisi jasad si bayi diturunkan. Di sini si nafs berada dalam tiga kegelapan.
“Kemudian Dia menyempurnakan (janin), dan meniupkan kedalamnya ruh-Nya, dan Dia menjadikan bagimu, pendengaran, penglihatan, danfu’ad, tapi sedikit di antara kamu yang bersyukur” (As-Sajdah [32]: 9).
“Dia menjadikan kamu dalam perut ibumu tahap demi tahap dalam tiga kegelapan” (Az-Zumar [39]: 6).
Bagi si nafs sewaktu masih di dalam rahim, kegelapan pertama adalah wadah jasadnya sendiri, lapis kegelapan kedua adalah jasad ibunya, dan kegelapan ketiga adalah penjara alam dunia yang bersifat material.
Maka ketika nafs dilahirkan via jasmani raganya ke alam dunia, nafs yang sudah terpenjara oleh tabiat-tabiat jasadnya kemudian harus bertumbukan pula dengan cakrawala dunia ‘bawah’.Maka nafs yang berasal dari cahaya Ilahi (bersifat metafisika) fu’ad-nya menjadi cenderung senang untuk di-rule dan diracuni oleh tabiat-tabiat dan implikasi-implikasi hukum fisis.
Merujuk ke Al-Ghazali[5], dimana beliau menggunakan terminologi qalb sebagai modus nafs, bahwa nafs memiliki dua jenis tentara, tentara lahir dan tentara batin. Tentara lahir adalah jasad, khususnya indera-indera yang secara langsung mencerap alam syahadah.Perangkat jasadiyah ini merupakan delapan pasang aspek ‘ternak’ yang harus digembalakan; ingat bahwa jasad merupakan ‘kuda’ tunggangan bagi nafs yang terlebih dulu harus ditundukkan dan digembalakan.
“Dia menciptakan dari nafs wahidah, kemudian mengadakan darinya pasangannya, dan menurunkan bagimu delapan ternak yang berpasang-pasangan.” (Az-Zumar [39]: 6).
Kedelapan aspek ‘ternak’ yang harus dikendalikan si nafs meliputi :
1.      Sepasang mata untuk penglihatan.
2.      Sepasang telinga untuk pendengaran.
3.      Sepasang lubang hidung untuk penciuman.
4.      Sepasang tangan untuk memegang.
5.      Sepasang kaki untuk berjalan.
6.      Indera pengecap pada lidah yang dipasangkan dengan perut untuk syahwat makan dan minum.
7.      Pasangan fungsi mulut dan laring untuk bersuara dan berkata-kata.
8.      Pasangan farji dan indera peraba untuk reproduksi.
Setiap ternak (an’aam) pada prinsipnya memiliki delapan aspek di atas sebagaimana dimiliki manusia, yang difungsikan oleh aspek ‘otak’ yang secara fisis dibuat berpasangan pula.Hewan ini memiliki daya (nafas Ruh) yang menghidupkan tubuhnya, tapi mereka tidak memiliki nafs yang harus mempertanggungjawabkan perbuatan dirinya.Karena nafs manusia membawa fu’ad (mind, aspek akal jiwa), maka bagi manusia sepasang otaknya (yang wujud fisiknya tak berbeda dengan ternak) selain menjadi pusat syaraf untuk mengkoordinasi tubuh, juga menjadi pusat pikiran yang ini justru sering menjadi faktor utama yang membawa ‘kejatuhan’ manusia.Faktor pikiran ini (yang merupakan aspek permukaan dari fu’ad) yang akan secara efektif mengkonstruk apa yang secara psikologis disebut ego.
Apa yang disebut ego ini merupakan ‘kepala’, bagi apa yang disebut oleh Al-Ghazali sebagai tentara batin. Apa yang disebut dalam Al-Qur’an sebagai hawa (hawa nafsu) adalah keluar dari tentara batin ini; karena sifatnya plural, bersifat non-material, melekat pada nafs (seperti minyak di atas permukaan air), dan mengeluarkan hawa (kecenderungan-kecenderungan yang tidak sejalan dengan orbit jiwa), maka diberi istilah nufusul-hawiyyah.
Jika si nafs lumpuh karena dosa-dosa yang dimasukkan jasad lewat pintu-pintu inderadan pikiran, maka kepribadian insan dipegang oleh ‘kepala’ dari tentara batin: ego.Ego ini jika dikendalikan nafs sebenarnya merupakan perangkat yang sangat penting bagi nafs untuk menjalankan kodrat dirinya. Jika nafs disembuhkan dengan Rahmat Allah Ta’ala, maka pusat kesadaran dan kepribadian secara bertahap akan bergeser dari ego ke nafs; konstruk ego yang salah-bentuk akan segera diruntuhkan nafs untuk dikonstruk ulang menjadi bentuk baru yang lebih sesuai dengan kepentingan dharma si nafs. Karena entitas nufusul-hawiyyah ini berasal dari kekuatan amr yang dibawa si nafs yang menemukan padanannya di hissiyah jasadiyyah secara unik, maka rekonstruksi ego dari setiap manusia akan berbeda satu sama lain.
Ego dibentuk dan ditumbuhkan melalui fikiran oleh dua kekuatan, pertama persepsi inderawi yang bersifat syahwati, dan kedua oleh hawa nafs. Interaksi timbal balik dua kekuatan ini melalui link ego menjadi cenderung memperkuat satu sama lain danmembangun kompleks-kompleks sayyi’ah jiwa. Manusia digelapkan qalb-nya dan dilumpuhkan nafs-nya oleh dua perkara yaitu cinta dunia dan mempertuhankan hawa.
“Berkata ia,’Ya Rabbi, mengapa Engkau kumpulkan aku dalam keadaan buta, padahal aku dulu (di dunia) adalah seorang yang melihat?’” (Thaha [20]: 125).
“Karena sesungguhnya bukanlah matanya yang buta tetapi qalb yang di dalam dada” (Al-Hajj [22]: 46).
“Yang demikian itu disebabkan oleh karena mereka mencintai kehidupan dunia di atas akhirat… Mereka itulah yang qalb, pendengaran, dan penglihatannya telah dikunci mati oleh Allah, dan mereka adalah orang-orang yang lalai” (An-Nahl [16]: 107-108).
“Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawanya sebagai tuhannya, maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya? Atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami? Mereka itu tidak lain bagaikan ternak bahkan lebih tersesat jalannya” (Al-Furqaan [25]: 43-44).
“Dan barang siapa buta di dunia ini, maka di akhirat akan buta pula danlebih tersesat jalannya” (Al-Isra [17]: 72).
Bila nafs dirahmati Allah Ta’ala, maka secara bertahap indera-indera batinnya mulai bangun dan menguat, karena hijab-hijab dosa di qalb-nya mulai tanggal. Si nafs yang telah tumbuh kuat akan segera melakukan proses penggembalaan dan pendidikan atas tentara lahir dan tentara batinnya.
“Dan adapun mereka yang takut akan maqam Rabb-nya dan menahan nafsnya dari hawa” (An-Naazi’at [79]: 40).
Jika ego tidak dikonstruksi-baru oleh nafs, maka akan menjadi pabrik penghasil sayyiah, dimana ‘racun’ hati ini secara efektif dapat mematikan qalb. Kesadaran, secara psikologis, berpusat di ego, sementara qalb dan nafs berada di bawah level kesadaran atau di ketaksadaran (unconsciousness).
Jika hijab kompleks dan sayyiah lenyap, maka ego akan mengorbit ke nafs dan memperluas bidang kesadaran. Ketika ego di bawah kontrol nafs maka kekuatan syahwat dan hawa akan berada di bawah kendali amr si nafs, dan ketika pusat kesadaran berpindah ke nafs maka nafs menjadi pusat kepribadian yang bersifat utuh mencakup baik level sadar maupun level tak sadar. Dengan berkiblatnya ego ke nafs maka seluruh indera jasad berada di bawah kontrol nafs dan qalb, disini inderawi dan pikiran memperoleh kekuatan tambahan berupa aspek ruhani yang berpusat di qalb, manusia menjadi berfikir dan ber-‘aql dengan qalb-nya.
“Qalb bagaikan raja, jika shalih rajanya maka shalih pula tentara-tentaranya, dan jika jahat rajanya maka jahat pula tentara-tentaranya.” (Rasulullah SAW)
Jika cahaya qalb tidak menyentuh ego dan pikiran, maka pada hakikatnya manusia belum mengenal qalb-nya apalagi memfungsikannya.Karena qalb tak berfungsi, maka manusia tersebut dikatakan belum memiliki qalb (buta hati) kecuali hati jasmaniahnya saja, dan hanya memiliki satu akal yaitu pikirannya saja.
“Mereka memiliki qalb tetapi tidak digunakan untuk memahami, mereka memiliki mata tetapi tidak digunakannya untuk melihat, dan mereka mempunyai telinga tetapi tidak digunakannya untuk mendengar, mereka seperti ternak bahkan lebih tersesat” (Al-A’raf [7]: 179).
Dengan transformasi akal dari ego ke lubb, maka kesadaran seseorang ditransformasi terus-menerus hingga menyentuh Lathifah Ilahiyah, sehingga qalb-nya “melihat” al-haq dimana-mana (Al-Fushshilat [41]: 53). Dalam dunia tashawwuf, hirarki ‘urujkesadaran batin mencakup tujuh proses


Dalam proses ini, tahapan insan untuk memenuhi struktur yang dituntut oleh An-Nuur [24]: 35 menjadi terlampaui. Ini adalah proses manusia untuk mengenal Rabb-nya, yang harus diawali dengan kesadaran atas keberadaan nafs dalam jasadnya sebagai jati diri yang sebenarnya.
“Barangsiapa mengenal nafsnya maka akan mengenal Rabb-nya.” (Rasulullah SAW)
Dengan bermujahadah pada proses tazkiyyatun-nafs maka instrumen mata dan telinga batin (nafs) akan mulai bangun secara bertahap. Seperti bangunnya akal jasadi pada bayi oleh tumbukan terus menerus citra alam dunia melalui indera mata dan telinganya, maka pengendalian mata dan telinga jasmani dari hal-hal yang diharamkan Allah Ta’ala akan mencergaskan kembali penglihatan dan pendengaran si nafs, dan dengan sehatnya dua indera batin tersebut akan mulai mengaktivasi akal jiwa (lubb). Manusia yang lubb-nya hidup dinamai sebagai Ulul-Albaab, dan hanyaUlul-Albaab yang bisa memahami kalimah Ilahiyah di alam semesta.
“Allah memberikan hikmah kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa diberi hikmah, sungguh ia telah diberi kebaikan yang banyak. Dan tidak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali Ulul-Albaab” (Al Baqarah [2]: 269).
Proses ‘uruj tadi merupakan proses taubat, dimana makna taubat adalah perjalanan kembali menuju Allah, merupakan proses ditariknya si hamba mendekat kepada-Nya, dan ini akan melampaui semesta alam-alam, karena jarak antara si hamba dengan Dia adalah tak hingga. Dan tidak ada alam yang ia lampaui, kecuali lubb-nya akan menguasai urusan-urusan di alam tersebut. Siapa yang bertaubat (kembali kepada Allah) maka itu baru awal dari hidayah (pemberian petunjuk), dan siapa yang tidak mencari Allah (tidak bertaubat) maka mendzalimi dirinya sendiri.
“Dialah yang memperlihatkan kepadamu ayat-ayat-Nya dan menurunkan kepadamu rizki dari langit (jiwa). Dan tidak ada yang bisa mengambil pelajaran kecuali orang-orang yang bertaubat(kembali).” (Al-Mu’min [40]: 13)
“Dan sesungguhnya Aku menjadi Maha Pengampun bagi mereka yang bertaubat, beriman, dan beramal shalih, kemudian atasnya petunjuk” (Thaha [20]: 82).
“Siapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang dzalim” (Al-Hujurat [49]: 11).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ah lo mah babaturan BTB

Pagi shob.. setelah sekian lama kita berkelana di muka bumi yag kita cintai ini, pastinya menumkan dan merasakan berbagai hal. dalam istilah IPS kita sebagai makhluk sosial tidak bisa hidup tanpa bantuan orang lain, akan sangat perlu bantuan dan kerjasama dengan orang lain dalam setiap aspek kehidupan, seiring dengan berjalnnya waktu yang kita lewati kita akan sering berkenalan dengan orang dan disitulah terjalin istilah pertemanan / sahabat bahkan yang lebih jauh ialah menjadi pasangan hidup (suami/istri)

Makalah Perkembangan Lansia

KATA PENGANTAR Pertama-tama marilah kita panjatkan puji serta syukur kita kepada Tuhan yang Maha Esa, yang dimana sampai saat ini rahmat dan anugrah-Nya masih selalu tercurah pada kita, salawat dan salam semoga tetap tercurah kepada nabi Muhammad SAW, kepada keluarga dan para sahabat-sahabatnya. Penulis sebagai penyusun makalah Perkembangan moral dan keberagamaan pada lansia ini bertujuan untuk memberikan pemaparan tentang perkembangan moral dan keberagamaan yang terjadi pada lansia (lanjut usia), selain hal itu makalah ini dibuat sebagai salah satu tugas mata kuliah Psikologi perkembangan. Semoga makalah ini bisa bermanfaat, terutama bagi mahasiswa yang sedang mempelajari mata kuliah psikologi perkembangan dan umumnya untuk seluruh pembaca. Bandung, 25 Desember 2011 Penyusun BAB I PENDAHULUAN A.       Latar Belakang Perkembangan menunjukan suatu proses tertentu yaitu suatu proses yang menuju ked...

Sejarah perkembangan tasawuf di Sumatra Barat

PENDAHULUAN             Sumatera Barat merupakan salah satu wilayah di Nusantara yang terpengaruh pemikiran tasawuf di Aceh. Ini bisa dibuktikan dengan berkembangnya pemikiran-pemikiran tasawuf dan ordo tarekat di wilayah ini. Salah satu ordo tarekat yang berkembang pesat di Sumatera Barat yang bermula dari Aceh, adalah Tarekat Syatariyah. Pembawa pertama tarekat ini adalah Syaikh Abdullah al-Syathari (wafat 1415 M., ada juga yang mengatakan tahun 1428).             Dari kenyataan tersebut jelas bahwa pemikiran tasawuf yang berkembang di Sumatera Barat dipengaruhi pemikir tasawuf Aceh, terutama dari Abdul Rauf Singkel. Itulah sebabnya, dalam masalah pemikiran tasawuf, orang-orang Islam di Sumatera Barat meng