Struktur Insan
Dalam Pandangan Qur’aniyah
Peta kejiwaan dan mekanisme interaksi antar modus-modus jiwa,
dalam kerangka psikologi yang dibangun secara ilmiah, tampak tidak
jelas dan banyak menyisakan lubang-lubang di sana sini. Dalam
literatur barat sendiri penggunaan istilah-istilah seperti soul,
spirit, heart, mind, dan intellect sering campur aduk
ketika mengidentifikasi persoalan-persoalan yang bersentuhan dengan konsepsi
kejiwaan.
Istilah psycho sendiri
yang dipakai dalam konstruk kata psikologi (psychology) berasal dari kata
Yunani psyché (Ynch) yang artinya “nafas kehidupan”, dalam
mitologi Yunani digambarkan sebagai kupu-kupu. Dalam hal ini, kupu-kupu
merupakan perlambang jiwa yang bebas terbang setelah menempa diri dengan
“puasa”, keluar dari bungkus kepompongnya. Dua sayap kupu-kupu yang membawa
dirinya terbang meninggalkan “bumi” melambangkan dua akal, akal
jiwa dan akal raga; dua akal tersebut eksis secara
potensial di dalam tubuhnya saat ia sebagai “ulat”, persoalan yang sama dalam
representasi yang berbeda bisa dikaji dalam “Alegori Gua” Plato (428-347
SM)[3]
.
.
Dalam
konsepsi pramodern, manusia dibagi atas tiga entitas, corpus, animus, danspiritus[3]. Animus berasal
dari bahasa Yunani anemos yang bermakna sesuatu yang hidup (bernafas) yang ditiupkan
ke dalam corpus (wadah atau bungkus).Maka corpusadalah
body (raga/jasad); dan spiritus adalah spirit
(ruh); dan animus identik denganpsyche yang
bermakna soul (jiwa/nafs).Dewasa ini istilah jiwa yang dipakai
dalam psikologi telah mengalami penyempitan makna.Jiwa dalam terminologi
psikologi modern lebih ke aspek psikis, dimana aspek psikis ini lebih merupakan
riak gelombang permukaan di atas lautan dalam yang disebut jiwa. Fungsi ruh
terhadap jiwa dan fungsi ruh terhadap jasad bisa dilihat dalam referensi[4].
Dalam
terminologi Qur’aniyah, struktur manusia dirancang sesuai dengan
tujuan penciptaan itu sendiri, dimana jiwa (soul) yang dalam
istilah Al-Quran disebut nafsmenjadi target pendidikan
Ilahi. Istilah nafs didalam Islam sering dikacaukan dengan apa yang dalam
bahasa Indonesia disebut hawa nafsu, padahal istilah hawa dalam
konteks Qur’ani memiliki wujud dan hakekat tersendiri. Aspek hawa dalam
diri manusia berpasangan dengan apa yang disebut sebagai syahwat. Sedangkan
apa yang dimaksud dengan an-nafs amara bissu’ dalam surat
(Yusuf [12]: 53) adalah nafs(jiwa) yang belum dirahmati
Allah SWT:“Dan aku tidak membebaskan nafsku, sesungguhnya nafs itu
cenderung mengarah kepada kejahatan, kecuali yang dirahmati oleh Rabb-ku.”
Hawa merupakan
kecenderungan kepada yang lebih bersifat non-material, yang berkaitan dengan
eksistensi dan harga diri, persoalan-persoalan yang wujudnya lebih
abstrak. Hawa merupakan entitas,produk
persentuhanantara nafs dan jasad.
Sedangkan syahwat merupakan
kecenderungan manusia pada aspek-aspek material (AliImran [3]: 14),
dan ini bersumber pada jasad insan yang wujudnya memang disusun berdasarkan unsur-unsur
material bumi (air, tanah, udara, api).
Nafs manusia diuji bolak-balik
di antara dua kutub, kutub jasmaniah yang berpusat di jasad dan kutub
ruhaniyah yang berpusat di Ruh al-Quds.Ar-Ruh ini beserta tiupan
dayanya (nafakh
ruh) merupakan
wujud yang nisbatnya ke Martabat Ilahi danmengikuti
hukum-hukum alam Jabarut. Aspek ruh ini
(jamak arwah) tetap suci dan tidak tersentuh oleh kelemahan-kelemahan
material dan dosa, spektrum ruh merupakan sumber dari segala yang
maujud di alam syahadah inimaka tak ada istilah tazkiyyatur-ruhiyyah atau mi’raj
ruhani.
Al-Ghazali
dalam Kitab Ajaaibul Qulub[5] jelas membedakan istilah-istilah
seperti qalb(rasa jiwa, bukan rasa jasadiah/psikis), nafs, ruh, dan ‘aql;
dimana istilah-istilah ini dalam konsepsi psikologi modern tak terpetakan
dengan tegas karena berada pada tataran jiwa yang bersifat malakut,
atau secara psikologi analitik berada di ruang ketaksadaran.
Prinsipnya,
apa yang disebut sebagai manusia sempurna (insan kamil) dalam
terminologi Al-Qur’an, minimal manusia yang sudah
memiliki struktur seperti tercantum dalam An-Nur [24]: 35, seorang
Insan Ilahi. Manusia dikatakan sebagaikhalifatullah (wakil Allah)
di bumi jika ia telah mencapai state tersebut, ia membawa
kuasa Allah dan bercitra Ar-Rahman.
“Allah
cahaya petala langit dan bumi.Perumpamaan cahaya-Nya bagaikan sebuah misykat
yang didalamnya terdapat pelita terang. Pelita tersebut di dalam kaca, kaca itu
seolah kaukab yang berkilau dinyalakan oleh (minyak) dari pohon yang banyak
berkahnya, pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur dan tidak pula di
sebelah barat, yang minyaknya saja hampir-hampir menerangi walau tanpa disentuh
api. Cahaya di atas cahaya, Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa-siapa yang
Dia kehendaki, dan Allah membuat perumpamaan bagi manusia, dan Allah
Maha Mengetahui segala sesuatu”.
Ayat
tersebut mengisyaratkan tentang manusia, dimana di dalam jasad (misykat)-nya
terdapat nafs (jiwa) yang qalb (zujajah)-nya
bercahaya seperti bintang karena telah dinyalakan dari dalam dengan api Ruh
al-Quds (misbah). Adapun misykat sifatnya kusam dan tak tembus
pandang, sebagai perlambang jasad yang berasal dari alammulk (ardhiyah),
merupakan manifestasi terendah dari kehadiran Al-Haq dalam
alamsyahadah.
Bola
kaca zujajah yang jernih tembus pandang melambangkan qalb,
merupakan aspek rasa dari si nafs yang berasal dari alam malakut. Si nafs
melakukan serangkaian proses tazkiyyatun-nafs (pensucian jiwa)
sehingga jernihlah qalbnya dantampaklah titik-apinya menyala di inti jiwa.
Jika insan dapat mencapai state seperti digambarkan An-Nur
[24]: 35, maka insan tersebut dinamai syuhada (saksi Allah
sejati) karena telah berperan sebagai cahaya yang menampakkan khazanah Ilahi
sebagai Harta Terpendam (Kanzun Makhfiyan)[6]. Ayat di atas
menyatakan strukturtarget yang harus manusia capai walau sulit.
Rasulullah
SAW menyinggung tentang eksistensi jiwa (nafs) yang qalbnya
telah diperkuat oleh api Ruh al-Quds, sebagai berikut:
“Qalb
itu ada empat macam, pertama, qalb yang bersih, di dalamnya terdapat pelita
yang bersinar cemerlang, itulah qalb al-mu’min; kedua, qalb
yang hitam terbalik, itulah qalb orang kafir; ketiga, yang terbungkus dan
terikat pada bungkusnya, itulah qalb orang yang munafik; dan keempat, qalb yang
tercampur, di dalamnya terdapat iman dan nifaq.”
Ruh
al-Quds yang
dilambangkan oleh pelita yang menyala di dalam qalb, merupakan utusan-Nya di
dalam diri, yang membawa ketetapan-ketetapan hidup (amr) si nafs di
dunia ini.Pengutusan rasul yang batin ke dalam inti dari nafs ini lebih dari
sekedar simbol bahwa pengabdiannya diterima (diridhai).Ruh al-Quds merupakan
juru nasehat si nafs dari dalam qalb, dan nafs yang telah diperkuat
dengan ruh ini, selain disebut sebagai an-nafs an-natiqah (jiwa
yang berkata-kata disebabkan adanya juru nasehat dari dalam qalbnya), juga
disebut sebagai an-nafs al-muthmainah.
Disebutmuthmainnah karena
si nafs tersebut telah stabil dalam orbit dirinya (qudrahdiri/swadharma),
di sini ruh tadi disebut pula sebagai sakinah (syekinah dalam
bahasa Ibrani) yang diturunkan ke qalb yang memperoleh
kemenangan (al-fath) amr.
“Dialah
yang telah menurunkan as-sakinah ke dalam qalb orang-orang al-mu’min, agar
keimanan mereka bertambah di samping keimanan yang telah ada” (Al-Fath [48]:
4).
“Apabila
Allah menghendaki kebaikan (khairan) atas seorang hamba, maka diadakannya
pemberi pelajaran dari qalb-nya” (Rasulullah SAW).
“Barang
siapa memiliki juru-nasehat dari dalam qalbnya, berarti Allah telah memberi
seorang penjaga (hafidh) atasnya” (Rasulullah SAW).
“Seandainya
syaithan-syaithan tidak mengelilingi qalb anak Adam, niscaya mereka dapat
melihat ke malakut langit” (Rasulullah SAW).
Qalb
menjadi hitam dan terbalik jika ia mempertuhankan hawa nafsu,
mengingkaridan mendustakan kebenaran (al-haq). Hati yang
seperti ini akan memandang bagus atas segala yang mereka kerjakan, karena
tertutup ilusi dan waham syaithan. Adapun qalb si munafik terikat
pada bungkus jasadiyah, merupakan qalb yang terlalu mencintai dunia (terikat
kepada syahwat jasmaniah); pandangan batinnya tertipu oleh nilai-nilai estetik
fisik dengan tanpa melihat hakikatnya, maka ia bisa ‘menjual’ agamanya demi
kesenangan sesaat.
Seperti
telah diulas tadi, bahwa si nafslah yang menjadi fokus pendidikan
Ilahi. Alam dunia ini bagi nafs sebenarnya hanya sebuah jenjang ’sekolah
dasar’, Rasulullah SAW berkata bahwa alam dunia ini hanyalah sebuah jembatan
kecil yang menghubungkan dua alam besar, dan si nafs diuji dalam
pengembaraannya di ‘oase’ ini; sementara ia harus menyelesaikan sejumlah
jenjang ’sekolah lanjutan’ lagi. Di alam dunia, jasad atau raga insan berperan
sebagai kendaraan bagi si nafs untuk menemukan al-haq di bumi jagat ini sebagai
pelajaran pertamanya.Si nafs harus mengembara di muka bumi hingga terbuka
kepadanya malakut langit, atau hakikat dari segala yang wujud (khalq) di
alam syahadah, dan hakikat dari setiap khalq adalah al-haq.
“Akan
Kami perlihatkan ayat-ayat Kami di ufuk (semesta) dan di dalam nafs masing-masing,
hingga jelaslah bagi mereka itu bahwa itu adalah al-haq” (Al-Fushshilat [41]:
53).
“Tiap segala sesuatu pasti
binasa, kecuali Wajah-Nya” (Al-Qashash [28]: 88).
Sebelum
memahami bahwa Dia ada di mana-mana dan Dia lebih dekat dari urat
leher, maka si nafs harus melihat kepada aspek wajah-Nya berupa Al-Haq; ia
harus melihat bahwa hakikat dari segala sesuatu di alam semesta, berupa
ayat-ayat Kauniyyah, adalah al-haq; juga hakikat dari
apa yang ada di dalam nafs-nya tak lain adalah al-haq yang mengalir
dari Martabat Ilahi. Sebelum si nafs dimasukkan ke dalam kurungan jasad (corpus)
janin di dalam rahim ibu, maka si nafs dipanggil terlebih dulu
ke hadapan Allah SWT, katakanlah ini adalah status nafs ketika di alam
Nur atau alamAlastu.
“Dan
ketika Rabb-mu hendak mengeluarkan keturunan bani Adam dari sulbi
mereka, dan Allah telah mengambil kesaksian atas nafs-nafs mereka,
‘Bukankah Aku ini Rabb-mu?’ mereka menjawab ‘Benar! Kami menyaksikan’ Agar di
hari kiamat kamu tidak berkata: ‘Sesungguhnya kami lengah (atas kesaksian)
ini’” (Al-Araf [7]: 172).
Sebelum
nafs diturunkan di alam dunia, maka dalam kesaksian ini qadha danqadarnya
ditetapkan terlebih dahulu: “amal-amal insan dikalungkan pada
‘leher’nya”(Q.S Al-Isra’ [17]:13). Ketetapan-ketetapan ini berupa misi
hidup (swadharma) yang harus dimanifestasikan di muka
bumi, ini merupakan amanah Allah yang telah digariskan sesuai dengan bakat
langit si nafs (swabhawa), misi hidup setiap insan bersifat unik tidak
ada yang sama satu dengan lainnya. Misi (dharma) si nafs harus
ditemukan dan dijalankan di bumi ini, tidak ada perubahan dalam
dharma si nafs, karena bakat langit (swabhawa) si nafs merupakan fitrah
yang tidak berubah, dansebagian besar manusia tidak mengetahui
ketetapan dirinya karena qalb-nya terpendam dosa.
“Maka
hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada ad-Din. Fitrah Allah, yang Dia telah
menciptakan manusia menurut fitrah ini, tidak ada perubahan pada ciptaan Allah.
Inilah ad-Diin yang teguh, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui” (Ar-Ruum
[30]: 30).
Jika
tanpa Rahmat Allah SWT, ketetapan-ketetapan Allah yang tertulis di dada si nafs
tidak akan terbuka, dan ini merupakan rizqi batin manusia yang
kuncinya ada di dalam nafs. Sementara untuk mencapai ini sulit karena harus
menggeser pusat kesadaran dari ego ke nafs (self).
Dari
alam Nuur, setelah 120 hari penyusunan janin bayi, maka nafs yang
telah diamanahi qudratullah beserta ruh yang akan mengisi
jasad si bayi diturunkan. Di sini si nafs berada dalam tiga kegelapan.
“Kemudian Dia menyempurnakan (janin),
dan meniupkan kedalamnya ruh-Nya, dan Dia menjadikan bagimu, pendengaran,
penglihatan, danfu’ad, tapi sedikit di antara kamu yang bersyukur”
(As-Sajdah [32]: 9).
“Dia menjadikan kamu dalam perut
ibumu tahap demi tahap dalam tiga kegelapan” (Az-Zumar [39]: 6).
Bagi
si nafs sewaktu masih di dalam rahim, kegelapan pertama adalah
wadah jasadnya sendiri, lapis kegelapan kedua adalah jasad
ibunya, dan kegelapan ketiga adalah penjara alam dunia
yang bersifat material.
Maka
ketika nafs dilahirkan via jasmani raganya ke alam dunia, nafs yang sudah
terpenjara oleh tabiat-tabiat jasadnya kemudian harus bertumbukan pula dengan
cakrawala dunia ‘bawah’.Maka nafs yang berasal dari cahaya Ilahi (bersifat
metafisika) fu’ad-nya menjadi cenderung senang untuk di-rule dan
diracuni oleh tabiat-tabiat dan implikasi-implikasi hukum fisis.
Merujuk
ke Al-Ghazali[5], dimana beliau menggunakan terminologi qalb sebagai
modus nafs, bahwa nafs memiliki dua jenis tentara, tentara lahir dan tentara
batin. Tentara lahir adalah jasad, khususnya indera-indera yang secara
langsung mencerap alam syahadah.Perangkat jasadiyah ini merupakan delapan
pasang aspek ‘ternak’ yang harus digembalakan; ingat bahwa jasad merupakan
‘kuda’ tunggangan bagi nafs yang terlebih dulu harus ditundukkan dan digembalakan.
“Dia menciptakan dari nafs
wahidah, kemudian mengadakan darinya pasangannya, dan menurunkan
bagimu delapan ternak yang berpasang-pasangan.” (Az-Zumar [39]: 6).
Kedelapan aspek ‘ternak’ yang
harus dikendalikan si nafs meliputi :
1. Sepasang mata untuk penglihatan.
2. Sepasang telinga untuk pendengaran.
3. Sepasang lubang hidung untuk penciuman.
4. Sepasang tangan untuk memegang.
5. Sepasang kaki untuk berjalan.
6. Indera pengecap pada lidah yang dipasangkan dengan perut untuk
syahwat makan dan minum.
7. Pasangan fungsi mulut dan laring untuk
bersuara dan berkata-kata.
8. Pasangan farji dan indera peraba untuk reproduksi.
Setiap
ternak (an’aam) pada prinsipnya memiliki delapan aspek di atas
sebagaimana dimiliki manusia, yang difungsikan oleh aspek ‘otak’ yang secara fisis
dibuat berpasangan pula.Hewan ini memiliki daya (nafas Ruh) yang menghidupkan
tubuhnya, tapi mereka tidak memiliki nafs yang harus mempertanggungjawabkan
perbuatan dirinya.Karena nafs manusia membawa fu’ad (mind, aspek akal jiwa),
maka bagi manusia sepasang otaknya (yang wujud fisiknya tak berbeda dengan
ternak) selain menjadi pusat syaraf untuk mengkoordinasi tubuh, juga menjadi
pusat pikiran yang ini justru sering menjadi faktor utama yang membawa
‘kejatuhan’ manusia.Faktor pikiran ini (yang merupakan aspek permukaan
dari fu’ad) yang akan secara efektif mengkonstruk apa yang secara
psikologis disebut ego.
Apa
yang disebut ego ini merupakan ‘kepala’, bagi apa yang disebut oleh Al-Ghazali
sebagai tentara batin. Apa yang disebut dalam Al-Qur’an sebagai hawa (hawa
nafsu) adalah keluar dari tentara batin ini; karena sifatnya plural, bersifat
non-material, melekat pada nafs (seperti minyak di atas permukaan
air), dan mengeluarkan hawa (kecenderungan-kecenderungan yang tidak
sejalan dengan orbit jiwa), maka diberi istilah nufusul-hawiyyah.
Jika
si nafs lumpuh karena dosa-dosa yang dimasukkan jasad lewat pintu-pintu
inderadan pikiran, maka kepribadian insan dipegang oleh ‘kepala’
dari tentara batin: ego.Ego ini jika dikendalikan nafs sebenarnya
merupakan perangkat yang sangat penting bagi nafs untuk menjalankan kodrat
dirinya. Jika nafs disembuhkan dengan Rahmat Allah Ta’ala, maka pusat
kesadaran dan kepribadian secara bertahap akan bergeser dari ego
ke nafs; konstruk ego yang salah-bentuk akan segera diruntuhkan
nafs untuk dikonstruk ulang menjadi bentuk baru yang lebih sesuai dengan
kepentingan dharma si nafs. Karena entitas nufusul-hawiyyah ini berasal dari
kekuatan amr yang dibawa si nafs yang menemukan padanannya
di hissiyah jasadiyyah secara unik, maka rekonstruksi ego dari
setiap manusia akan berbeda satu sama lain.
Ego
dibentuk dan ditumbuhkan melalui fikiran oleh dua kekuatan, pertama persepsi
inderawi yang bersifat syahwati, dan kedua oleh hawa nafs. Interaksi timbal
balik dua kekuatan ini melalui link ego menjadi cenderung memperkuat satu sama
lain danmembangun kompleks-kompleks sayyi’ah jiwa.
Manusia digelapkan qalb-nya dan dilumpuhkan nafs-nya oleh dua perkara yaitu
cinta dunia dan mempertuhankan hawa.
“Berkata ia,’Ya Rabbi, mengapa
Engkau kumpulkan aku dalam keadaan buta, padahal aku dulu (di dunia) adalah
seorang yang melihat?’” (Thaha [20]: 125).
“Karena sesungguhnya bukanlah
matanya yang buta tetapi qalb yang di dalam dada” (Al-Hajj [22]: 46).
“Yang demikian itu disebabkan
oleh karena mereka mencintai kehidupan dunia di atas akhirat… Mereka itulah
yang qalb, pendengaran, dan penglihatannya telah dikunci mati oleh
Allah, dan mereka adalah orang-orang yang lalai” (An-Nahl [16]:
107-108).
“Terangkanlah kepadaku tentang
orang yang menjadikan hawanya sebagai tuhannya, maka apakah kamu dapat menjadi
pemelihara atasnya? Atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu
mendengar atau memahami? Mereka itu tidak lain bagaikan ternak bahkan lebih
tersesat jalannya” (Al-Furqaan [25]: 43-44).
“Dan barang siapa buta di dunia
ini, maka di akhirat akan buta pula danlebih tersesat jalannya” (Al-Isra
[17]: 72).
Bila
nafs dirahmati Allah Ta’ala, maka secara bertahap indera-indera batinnya mulai
bangun dan menguat, karena hijab-hijab dosa di qalb-nya mulai tanggal. Si nafs
yang telah tumbuh kuat akan segera melakukan proses penggembalaan dan
pendidikan atas tentara lahir dan tentara batinnya.
“Dan adapun mereka yang takut
akan maqam Rabb-nya dan menahan nafsnya dari hawa” (An-Naazi’at [79]:
40).
Jika
ego tidak dikonstruksi-baru oleh nafs, maka akan menjadi pabrik penghasil
sayyiah, dimana ‘racun’ hati ini secara efektif dapat mematikan qalb.
Kesadaran, secara psikologis, berpusat di ego, sementara
qalb dan nafs berada di bawah level kesadaran atau di ketaksadaran (unconsciousness).
Jika
hijab kompleks dan sayyiah lenyap, maka ego akan mengorbit ke nafs dan
memperluas bidang kesadaran. Ketika ego di bawah kontrol nafs maka kekuatan
syahwat dan hawa akan berada di bawah kendali amr si nafs, dan ketika
pusat kesadaran berpindah ke nafs maka nafs menjadi
pusat kepribadian yang bersifat utuh mencakup baik level sadar maupun
level tak sadar. Dengan berkiblatnya ego ke nafs maka seluruh indera jasad
berada di bawah kontrol nafs dan qalb, disini inderawi dan pikiran memperoleh
kekuatan tambahan berupa aspek ruhani yang berpusat di qalb, manusia menjadi
berfikir dan ber-‘aql dengan qalb-nya.
“Qalb
bagaikan raja, jika shalih rajanya maka shalih pula
tentara-tentaranya, dan jika jahat rajanya maka jahat pula
tentara-tentaranya.” (Rasulullah SAW)
Jika
cahaya qalb tidak menyentuh ego dan pikiran, maka pada hakikatnya manusia belum
mengenal qalb-nya apalagi memfungsikannya.Karena qalb tak berfungsi, maka
manusia tersebut dikatakan belum memiliki qalb (buta hati) kecuali hati
jasmaniahnya saja, dan hanya memiliki satu akal yaitu pikirannya
saja.
“Mereka
memiliki qalb tetapi tidak digunakan untuk memahami, mereka memiliki mata
tetapi tidak digunakannya untuk melihat, dan mereka mempunyai telinga
tetapi tidak digunakannya untuk mendengar, mereka seperti ternak bahkan lebih
tersesat” (Al-A’raf [7]: 179).
Dengan
transformasi akal dari ego ke lubb, maka kesadaran seseorang ditransformasi
terus-menerus hingga menyentuh Lathifah Ilahiyah, sehingga qalb-nya
“melihat” al-haq dimana-mana (Al-Fushshilat [41]: 53). Dalam
dunia tashawwuf, hirarki ‘urujkesadaran batin mencakup tujuh proses
Dalam
proses ini, tahapan insan untuk memenuhi struktur yang dituntut oleh
An-Nuur [24]: 35 menjadi terlampaui. Ini adalah proses manusia untuk mengenal
Rabb-nya, yang harus diawali dengan kesadaran atas keberadaan nafs dalam
jasadnya sebagai jati diri yang sebenarnya.
“Barangsiapa
mengenal nafsnya maka akan mengenal Rabb-nya.” (Rasulullah SAW)
Dengan
bermujahadah pada proses tazkiyyatun-nafs maka instrumen mata
dan telinga batin (nafs) akan mulai bangun secara bertahap. Seperti bangunnya
akal jasadi pada bayi oleh tumbukan terus menerus citra alam dunia melalui
indera mata dan telinganya, maka pengendalian mata dan telinga jasmani dari
hal-hal yang diharamkan Allah Ta’ala akan mencergaskan kembali penglihatan dan
pendengaran si nafs, dan dengan sehatnya dua indera batin tersebut
akan mulai mengaktivasi akal jiwa (lubb). Manusia yang lubb-nya
hidup dinamai sebagai Ulul-Albaab, dan hanyaUlul-Albaab yang
bisa memahami kalimah Ilahiyah di alam semesta.
“Allah memberikan hikmah kepada
siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa diberi hikmah, sungguh ia telah
diberi kebaikan yang banyak. Dan tidak ada yang dapat mengambil
pelajaran kecuali Ulul-Albaab” (Al Baqarah [2]: 269).
Proses
‘uruj tadi merupakan proses taubat, dimana makna taubat adalah perjalanan
kembali menuju Allah, merupakan proses ditariknya si hamba mendekat
kepada-Nya, dan ini akan melampaui semesta alam-alam, karena jarak antara si
hamba dengan Dia adalah tak hingga. Dan tidak ada alam yang ia lampaui, kecuali
lubb-nya akan menguasai urusan-urusan di alam tersebut. Siapa yang bertaubat
(kembali kepada Allah) maka itu baru awal dari hidayah (pemberian
petunjuk), dan siapa yang tidak mencari Allah (tidak bertaubat) maka
mendzalimi dirinya sendiri.
“Dialah
yang memperlihatkan kepadamu ayat-ayat-Nya dan menurunkan kepadamu rizki dari
langit (jiwa). Dan tidak ada yang bisa mengambil pelajaran kecuali
orang-orang yang bertaubat(kembali).” (Al-Mu’min [40]: 13)
“Dan
sesungguhnya Aku menjadi Maha Pengampun bagi mereka yang bertaubat,
beriman, dan beramal shalih, kemudian atasnya petunjuk” (Thaha [20]:
82).
“Siapa yang tidak bertaubat, maka
mereka itulah orang-orang yang dzalim” (Al-Hujurat [49]: 11).
Komentar