a.
Biografi Jalaluddin Rumi
Maulana Jalaluddin Rumi
Muhammad bin Hasin al Khattabi al-Bakri (Jalaluddin Rumi) atau sering pula
disebut dengan nama Rumi adalah seorang penyair sufi yang lahir di Balkh
(sekarang Afganistan) pada tanggal 6 Rabiul Awwal tahun 604 Hijriah, atau
tanggal 30 September 1207 Masehi. Ayahnya masih keturunan Abu Bakar, bernama
Bahauddin Walad. Sedang ibunya berasal dari keluarga kerajaan Khwarazm. Ayah
Rumi seorang cendekia yang saleh, mistikus yang berpandangan ke depan, seorang
guru yang terkenal di Balkh.
b.
Pilosofis tari Jalaludin Rumi
Pesta para sufi ini lahir manakala seorang pencari tuhan
bertemu Sang Kekasih Yang Maha Suci. Ketika merasakan kasih yang ada dalam hati
dan dalam diri meletup-letup, maka perasaan ini akan ditransfer menjadi energi
gerak dalam bentuk menari. Tarian yang dilakukan adalah sebuah ekspresi untuk
merayakan kehidupan. Konon, ketika menari seperti itu, para penari mengalami
eksate yang dikalangan para sufi dipahami sebagai tingkat pencapaian perasaan
penyatuan dengan Tuhan. Bahkan, ada pula yang mengaku gerakan yang tercipta,
seolah-olah bukan dari diri si penari. Dari kisah inilah yang membuat seorang
pencari Tuhan seperti seperti Rumi memiliki jiwa sangat lembut. Dirinya tidak
lagi bisa membenci atau melihat perbedaan suku ras maupun agama.
Gerak tari yang berputar dalam whirling dervishes
ini merupakan perlambang dinamis dari sebuah struktur kehidupan yang berlapis.
Seperti layaknya tata surya. Dimana, antara unsur (planet) yang satu dengan
unsur yang lain masing-masing berotasi. Berputar pada porosnya sendiri-sendiri.
Kendati demikian, antarmereka tetap memiliki gaya tarik yang justru merupakan
unsur dari keseimbangan sistem tata surya itu sendiri.
Ibarat ilmu fisika whirling dervishes seperti
susunan electron, proton, dan neutron yang berada dalam inti atom.
Masing-masing dari mereka terus berputar (bergerak dinamis) untuk mencapai
sebuah kesempuranaan susunan atom yang dikehendaki. Semuanya begitu alamiah.
Begitu pula dengan tarian spiritual ini. Ia merupakan perputaran yang menggerakan
semua unsur manusia untuk meraih sebuah kesempurnaan. Nah, hasil yang konon
bisa dilihat secara kasat mata adalah menurunnya ego seseorang. Ujung-ujungnya,
ia akan bersikap lebih arif kepada sesama (viola, 2009: Tanpa halaman).
Seperti halnya karya-karya seni yang lain, whirling
dervishes pun memiliki bagian-bagian yang mengandung makna filosofis yang
cukup dalam. Hiasan di kepala (topi) misalnya. Ia adalah simbol nisan yang
kelak dipakai manusia setelah mati. Pun dengan kemeja dan rok putih yang dikenakan
para penari. Kain putih adalah simbol kain kafan yang nantinya bakal dibalutkan
ke tubuh manusia ketika ia dikuburkan. Sementara, jubah hitam yang biasanya
juga dikenakan penari, konon berarti sebagai energi negatif (black spiritual).
Dalam dinamika whirling drvishes, sisi gelap yang menempel pada hati manusia
tersebut bakal ditarik oleh kedua makna dari simbol sebelumnya, batu nisan dan
kain kafan. Lalu, manusia akan dilahirkan kembali kepada kenyataan hidupnya.
Dan, hidup yang hakiki adalah setelah mati. Bekalnya, hati yang bersih.
Gerakan awal sema dimana penari menahan tangannya
menyilang adalah simbol dari kesaksian Tuhan Yang Maha Esa. Dialah dzat yang
memulai segala sesuatunya di langit dan bumi ini. Sementara, ketika berputar,
tangan kanan yang mengarah ke atas (langit) adalah pertanda si penari siap
menerima energi enlightment (pencerahan) dari Sang Pencipta. Sedang, tangan
kiri yang menjuntai ke bawah merupakan simbol penyebaran energi positif
sekaligus menyerap energi negatif dari dan ke setiap hati manusia yang berada
disekeliling penari. Inilah jalan spiritual Tuhan memberikan nur dan
hidayah-Nya kepada setiap hati manusia dalam tari spiritual sema.
Tak hanya itu, rampak gendang atau tambur yang dipukul
para musisi pun mengandung makna. Suara alat musik tersebut merupakan simbol
dari kehendak Tuhan kepada setiap makhluk-Nya. Ketika Tuhan berkehendak, maka
jadilah segala sesuatu di bumi ini. Sementara, improvisasi alat musik yang lain
merupakan simbol dari nafas awal yang diberikan Tuhan kepada manusia. Ketika
dalam rahim, Tuhan telah meniupkan ruh kepada bayi yang akan dilahirkan. Itu
adalah awal sebuah kehidupan.
Ucap salam atau tabik dari para penari kepada orang-orang
di sekelilingnya merupakan simbol dari sebuah penghormatan (salam kenal) kepada
jiwa-jiwa yang dahaga. Jiwa-jiwa yang merindukan kedamaian. Sebetulnya, di
dalam tabik tersebut, terdapat pesan-pesan tentang kesaksian eksitensi ke-Esaan
Tuhan, pengorbanan (pikiran) untuk cinta sejati, dan takdir manusia sebagai
pelayan Tuhan, Al Quran, serta pelayan bagi seluruh umat di dunia ini.
Praktiknya, ketika manusia kembali dari perjalanan spiritualnya yang dilakukan
melalui whirling dervishes, maka, ia harus siap menjadi pengabdi bagi
Tuhan-nya, Kitab-nya, juga bagi setiap mahkluk ciptaan Tuhan. Karena itu,
segala doa dan puja puji yang dipanjatkan adalah untuk kebaikan dan kemuliaan
jiwa-jiwa dahaga di seluruh muka bumi ini agar menjadi lebih sempurna.