Langsung ke konten utama

Landasan Epistemologi dan Teologi Pluralisme Agama


Landasan Epistemologi dan Teologi Pluralisme Agama
Oleh: Ruhullah Syams

Pluralisme agama mempunyai landasan epistemologis dan teologis. Bagian epistemologis dari teori ini menitikberatkan pada pembuktian kebenaran untuk semua agama-agama, sedangkan bagian teologisnya lebih banyak mengarah pada pengakuan keselamatan dan kebahagiaan para pengikut dari semua agama-agama. Demikian pula pluralisme agama dengan mengambil ilham dari filsafat Kant pemisahan nomen dengan phenomen, hermenetik Gadamer, teori kesatuan substansi agama-agama, kejamakan hakikat, teori pengalaman keagamaan, kesetaraan argumen, gradasi dan keberadaan  batin hakikat, telah mengumumkan kesamaan agama-agama dalam meraih hakikat serta mendapatkan keselamatan. Dalam tulisan ini, pertama akan kami paparkan landasan epistemologi pluralisme agama dan melakukan telaah serta kritik terhadapnya dan kemudian memaparkan landasan teologinya serta telaah dan kritik terhadapnya.


Landasan Epistemologi Pluralisme Agama
Landasan epistemologi pluralisme agama, terbangun dengan mengambil ilham dari teori pemisahan nomen dan phenomen Kant, hermeneutik, khususnya hermeneutik filsafat Gadamer, dan bahasa agama (religious language). Sebagaimana diisyaratkan bahwa bagian penting dari landasan teoritis pluralisme agama ini menekankan pada pengafirmasian kebenaran bagi semua agama-agama. Yakni berupaya membuktikan bahwa semua agama-agama dari segi mencerap hakikat adalah sama dan setara. Tidak ada satu pun agama yang lebih utama dan sempurna dibanding semua agama-agama lainnya, sehingga ia dapat dipandang sebagai agama yang paling benar dan paling sempurna. Semua agama adalah sederajat dalam kesahihan dan kebenaran. Yang berbeda di antara mereka hanyalah lahiriahnya saja, tetapi batin dan substansinya adalah satu. Oleh karena itu, konsekuensi logis dari tinjauan ini adalah ketiadaan pemisahan dari dimensi kebenaran dan kebatilan antara proposisi-proposisi agama tauhid (monoteisme), trinitas, trimurti, politeisme, dan syirik.   
Pemisahan Nomen dengan Phenomen
Landasan epistemologi yang sangat kuat mempengaruhi pluralisme agama datang dari pemikiran Immanuel Kant (1724-1804 M), seorang pemikir dan filosof berkebangsaan Jerman. Inti pemikiran Kant yang digunakan dalam pluralisme agama adalah pemisahan nomen dengan phenomen dalam dimensi membedakan antara makrifat agama dengan substansi agama. Dengan kata lain terdapat jurang pemisah yang dalam antara pengetahuan agama dan realitas agama. Pandangan ini kemudian menyebabkan pemisahan agama dengan pengetahuan agama, serta menafikan parameter kebenaran dan kesalahan dari  proposisi-proposisi agama.
John Hick, dengan menggunakan pemisahan nomen dengan phenomen dalam maktab Kant, pada awalnya mengisyaratkan kepada wajah Tuhan yang sama dalam berbagai syariat. Akan tetapi, setelah itu dia menambahkan bahwa kesamaan ini dihasilkan oleh pandangan dari jauh. Apabila kita mendekat maka perbedaan-perbedaan akan menjadi jelas dan kesamaan akan tenggelam dalam kegelapan. Dia mengambil ilham dari pemisahan nomen dengan phenomen Kant dan membedakan antara Tuhan, maqam lâ isma dan rasm (maqam tak dikenal dan tak terdeskripsi), Tuhan dalam nisbahnya dengan kita, dan mengambil manifestasi Hak dalam mazhar-mazhar yang beragam sebagai rahasia perbedaan agama-agama dan sekaligus sebagai dalil kebenaran semua agama-agama. Dia menyatakan, agama-agama ini mungkin merupakan manifestasi, wajah, gambaran, dan tajalli satu Tuhan, mungkin merupakan sisi-sisi dan jalan-jalan yang berbeda-beda, di mana Tuhan menampakkan diri-Nya kepada manusia… Yehova (Yahudi), Allah (Islam), dan Tuhan Langit kaum Nasrani yang masing-masing merupakan pribadi ketuhanan dan kesejarahan, yang pada hakikatnya merupakan hasil yang sama dari manifestasi universal Ilahi dan campur tangan kekuatan konsepsi manusia dalam syarat-syarat khusus kesejarahan.[1]

John Hick dalam salah satu bukunya yang khusus membahas masalah pluralisme agama mengatakan, semua itu (gambaran beragam dari pengetahuan dan kesadaran agama) mengambil bentuk dikarenakan kehadiran realitas (hakikat) Ilahi, kehadiran seluruh sisi yang berasaskan kumpulan yang beragam dari pengertian-pengertian, konsepsi-konsepsi, dan struktur-struktur makna keagamaan yang berpengaruh dalam internal tradisi-tradisi kegamaan yang beragam, yang masuk dalam kesadaran dan pengetahuan kita.[2]
Apa yang menjadi sandaran penegasan dalam hal ini adalah membedakan antara sesuatu sebagaimana dia adanya (hakikatnya) dan sesuatu sebagaimana dia memanifestasi (zuhurnya), di mana ia berperan dalam membentuk landasan epistemologi agama yang melahirkan teori pemisahan pengetahuan keagamaan dari dzat agama. Dan ini adalah suatu bentuk relativisme dalam makrifat keagamaan tanpa pengingkaran terhadap keberadaan substansi agama.

Berdasarkan teori Kant bahwa sesuatu sebagaimana hakikatnya bukanlah sesuatu itu di sisi kita, karena itu realitas dan hakikat sesuatu yang tak terjamah tidak akan pernah sampai ke tangan kita, sebab ia tidak terjangkau oleh kemampuan persepsi kita. Akan tetapi apa yang kita persepsi  di dalam sistem persepsi adalah sejumlah lokus-lokus yang ada sebelumnya dan telah terwarnai, karena itu manusia tidak pernah sampai kepada realitas sebagaimana ia adanya.

Hukum dan kaidah ini pasti berlaku juga bagi para nabi. Mereka dalam menjelaskan syuhud dan mukasyafahnya tentang wujud mutlak terpengaruh oleh faktor-faktor tertentu dan ini memestikan terjadinya perbedaan hasil mukasyafah di antara mereka satu sama lain. Dan dari jalan inilah muncul kejamakan agama, di mana pakaian hak dan batil tidak terkenakan pada salah satu pun dari mereka; sebab setiap dari mereka mengungkapkan penemuan dan hasil mukasyafahnya dalam maqam pengalaman keagamaan.

John Hick berkata dalam hal ini: Immanuel Kant (tanpa punya maksud melakukan ini) telah menyediakan kerangka filosofis, yang mana asumsi seperti ini dapat mendapatkan pengembangan dan kesempurnaan. Dia membedakan antara alam sebagaimana dia fii nafsihi (hakikatnya) dan alam sebagaimana zahir atas pengetahuan dan kesadaran manusia (zuhurnya).[3]
Teori Kant  yang dipandang sebagai salah satu dari kebanggaan filosof Jerman ini, natijahnya tidak lebih dari membangun landasan skeptisisme dan relativisme. Kendatipun dia sendiri memandang dirinya adalah seorang realis, tetapi prinsip filsafat yang dikonstruksinya memberikan natijah kepada keraguan dan skeptis. Sebab berdasarkan pernyataannya, sesuatu di luar bukanlah sesuatu yang ada dalam persepsi kita, maka ketika prinsip ini adalah benar, bagaimana dapat dikatakan terdapat hakikat dan realitas di dunia luar dan kita mempunyai makrifat nisbi terhadapnya? Ketika seluruh persepsi dan konsepsi kita mengambil bentuk dengan satu rangkaian lokus-lokus dzihni (mind, mental), bagaimana bisa dikatakan apa yang ada di sisi kita –meskipun dalam bentuk nisbi- adalah itu juga yang ada di luar? Oleh karena itu, sistem filsafat Kant bisa dikatakan tidak mampu membuktikan sesuatu fii nafsihi (hakikat sesuatu) dan natijahnya berakhir kepada idealisme. Sebagaimana kaum idealis sesudah Kant seperti Nietzhe dan Hegel mengajukan isykalan terhadap Kant dan mengatakan, natijah sistem filsafat Kant adalah idealisme, bukan realisme. Nietzhe berkata, Kant meyakini (keberdaan) sesuatu fi nafsihi, yakni dia menghukumi keberadaan sesuatu fi nafsihi, tetapi dia memandang bahwa sesuatu itu tidak dapat diketahuii oleh lainnya, di mana qadiyyah ini dengan sendirinya adalah kontradiksi; sebab penghukuman terhadap keberadaan sesuatu fi nafsihi tidak lain adalah semacam pengenalan terhadap sesuatu fi nafsihi.[4]

Telaah dan Kritik
Kita dalam menelaah dan mengkritik teori Kant yang menjadi landasan epistemologi pluralisme agama ini, pertama mengisyaratkan serangkaian pengetahuan manusia yang sama sekali tidak diambilnya dari alam luar dirinya. Kalaupun diasumsikan diambil dari luar, pengetahuan-pengetahuan tersebut tidak terwarnai dan terwadahi dengan satu pun lokus-lokus dzihni (mental, mind) yang ada sebelumnya. Pengetahuan-pengetahuan tersebut seperti:
1. Prinsip non-kontradiksi;
2. Kebatilan daur dan tasalsul;
3. Tercegah berkumpulnya dua perkara atau sesuatu yang saling bertentangan;
4. Kebutuhan setiap akibat kepada sebab;
5. Kebutuhan imkan kepada wajib, dan lainnya.

Pengetahuan-pengetahuan ini merupakan serangkaian pengetahuan dalam hikmah nazhari (teoritis) yang selamanya tidak terwadahi dan terwarnai oleh salah satu dari lokus-lokus dzihni (mental, mind), dan karena itu berbentuk proposisi mutlak di mana dalam setiap zaman adalah benar. Oleh karena itu, di sini kita dapat mengajukan satu pertanyaan mendasar kepada Kant tentang pernyataannya itu, apakah perbedaan antara nomen dengan phenomen, dan sesuatu yang di luar yang masuk dalam wilayah persepsi kita dari jalan penginderaan dalam bentuk tidak terwarnai, teori ini sendiri masuk dalam kaidah ini atau tidak? Sebab dia dalam teori ini mendeskripsikan realitas luar yang pasti masuk dalam alat pikir melalui penginderaan dan pasti ia terhukumi dengan kaidah nomen dan phenomen. Dalam bentuk ini, pemikiran ini sendiri bukanlah gambaran realitas luar. Dan dengan kerelativisannya maka pemikiran ini tidak dapat memandang persepsi dan konsepsi manusia (seluruhnya) adalah relativ. Sebab jika ia mutlak, ia dapat menghukumi tentang mereka dan merelativkan semuanya, padahal pemikiran ini sendiri tidak mutlak dan relativ, karena itu ia tidak mampu menimpakan kerusakan kepada pemutlakan pandangan dan teori lainnya.

Di samping itu, Kant, berbeda dengan filosof empirisisme seperti Hume, dia berpandangan bahwa indera dan pengalaman bukan satu-satunya alat dan wasilah pengetahuan. Tetapi sebagaimana sebelumnya diisyaratkan, dia berkeyakinan bahwa pemberian-pemberian indera mengambil bentuk dengan perantaraan lokus-lokus dzihni hingga proses pengetahuan menjadi sempurna. Namun dia berpandangan juga bahwa indera dan pengalaman merupakan poin yang sangat urgen dalam pengetahuan dan bahkan melihatnya, tanpa dengannya maka tidak akan tercipta sama sekali pengetahuan manusia. Di sinilah awal letak ketergelinciran teori epistemologi Kant, sebab keberadaan hukum-hukum akal yang badihi seperti prinsip non-kontradiksi dan kemustahilan daur serta tasalsul berada di luar ruang lingkup indera dan pengalaman, karena itu tidak dapat diinderai dan dieksperimenkan. Di samping itu terdapat serangkaian penghukuman dan penilaian kita yang kendatipun tidak badihi tetapi juga tidak eksperimental. Seperti penghukuman dan penilaian kita tentang riwayat-riwayat sejarah dan hukum atas kesahihan dan kebohongan riwayat-riwayat tersebut, dimana ini tidak dihasilkan dari penginderaan dan eksperimen. Sebab kesahihan sebuah riwayat sejarah bersandar atas penelitian sanad-sanad dan serangkaian silogisme akal.[5] Dan isykal lain yang dapat diajukan terhadap teori Kant ini adalah, proposisi ini sendiri bahwa indera dan pengalaman satu-satunya wasilah pengetahuan, atau dengan ungkapan Kant, paling pertama tahapan pengetahuan, dari jalan apa dihasilkan? Suatu yang badihi bahwa kesahihan eksperimen tidak dapat diafirmasikan dengan jalan eksperimen, akan tetapi meminta jalan rasionalitas.[6] Oleh karena itu, kendatipun pengalaman merupakan salah satu dari prinsip yang memberikan keyakinan dan kepastian yang diperkenalkan dalam mantik Islami, akan tetapi dengan keberadaannya itu ia bukanlah pilar utama dalam konstruksi bangunan pengetahuan manusia, sebab sebelum ia terdapat serangkaian pengetahuan-pengetahuan badihi rasional yang kesahihannya tidak bergantung kepada pengalaman.
Sampai di sini, salah satu dari prinsip dan landasan epistemologi teori pluralisme agama di mana ia tegak atasnya telah ditelaah dan dikritik.

Teori Kant dan Pluralisme Agama
Teori Kant dalam bab makrifat telah menarik diskusi serius dalam wilayah makrifat agama, khususnya dalam medan pemikiran dan teologi agama. Pemisahan yang dilakukan Kant antara nomen dengan phenomen telah membuka jalan bagi terjadinya pemisahan agama dari makrifat agama. Yakni dengan jalan qiyas dan perbandingan terhadap keterangan Kant, di mana kita tidak mempunyai jangkauan persepsi kepada hakikat dan nafsul amr (fact-itself) sesuatu dan apa yang kita dapatkan adalah hasil dari campuran struktur dzihni kita dan efek sesuatu yang tidak diketahui (nomen) atas dzihni kita, dan karena itu kita tidak mengetahui kesesuaian antara phenomen dengan nomen. Dengan demikian dalam wilayah agama, sebagaimana kita tidak dapat menjangkau hakikat sesuatu sebagaimana ia adanya maka kita tidak dapat juga menjangkau substansi agama, dan pemahaman kita terhadap agama mengikuti kemestian-kemestian dzihni kita, karena itu kita tidak boleh mencampurkan antara agama dengan makrifat agama. Agama, adalah suatu perkara qudsi (suci), Ilahi, dan permanen, tetapi makrifat kita terhadap agama adalah perkara tidak suci, basyari (tidak Ilahi), dan tidak permanen. Lupa bahwa; pertama, dalam teori Kant persepsi phenomen setiap individu terhadap nomen (sesuatu sebagaimana ia adanya), adalah suatu persepsi yang satu dan sama, karena itu pluralisme dalam pembahasan ini tidak pada tempatnya. Sebagaimana yang dinyatakan oleh para pemikir Barat bahwa, …buku kritik terhadap akal murni yang menjelaskan tentang potensi pengetahuan, sampai kepada hakikat ini bahwa kendatipun pengenalan kita dimulai dengan pengalaman penginderaan, akal manusia mampu membuat sekumpulan hukum-hukum yang secara mutlak sahih bagi pengalaman mungkin mendatang manusia.[7] Menelaah secara teliti kalimat “secara mutlak sahih bagi pengalaman mendatang manusia”, memberikan natijah penegasian terhadap pluralisme epistemologis.

Sesuai dengan pandangan Kant, persepsi phenomen, dikarenakan mengikuti konstruksi akal manusia dan setiap manusia berdasarkan konstruksi ini semuanya adalah sama maka persepsinya adalah sama, satu, dan tetap. Dengan demikian menafikan pandangan bahwa setiap orang mempunyai persepsi khusus terhadap nafsul amr (fact-itself) sesuatu, atau persepsi phenomen mengalami perubahan sesuai dengan zaman dan mengikuti perubahan ilmu dan falsafah. Oleh karena itu, orang-orang yang mengqiyaskan agama dan pemahaman agama dengan nomen dan phenomen, mengetengahkan pandangan bahwa persepsi phenomen dan sisi  basyari (manusia) dari agama, timbul dikarenakan persepsi-persepsi tersebut mengikuti pengetahuan-pengetahuan sebelumnya dan pandangan dunia setiap orang, di mana ia adalah tidak satu dan sama pada semua orang dan dari suatu zaman ke zaman lainnya dan dari generasi ke generasi lainnya serta bahkan dari seorang ke orang lainnya adalah berbeda. Dengan memperhatikan perbedaan ini, menghasilkan warna kerelativan persepsi phenomen kita terhadap agama (dalam pandangan pemilik teori ini) menjadi lebih kental dan lebih jelas dinisbahkan relatifitas persepsi phenomen  terhadap wujud sesuatu dalam tori makrifat Kant.

Kedua, dalam membandingkan antara kedua metode pemikiran ini (teori Kant dan pluralisme agama), kita mesti memperhatikan poin lainnya. Yaitu, antara agama dengan nafsul amr sesuatu terdapat perbedaan. Nomen atau sesuatu sebagaimana ia adanya dalam pandangan Kant, suatu perkara secara dzat adalah bukan dzihni (mental, subyektif) dan tidak diketahui, di mana pancaran gambarannya dalam dzihn disebut dengan phenomen, dan dengan ini maka dikatakan persepsi kita terhadap tabiat adalah persepsi phenomen. Penyerupaan agama dengan tabiat dan pemahaman kita terhadap agama dengan ilmu-ilmu seperti fisika, kimia, biologi, dan lainnya, merupakan suatu qiyas yang tidak pada tempatnya. Sebab, agama yang didefinisikan dalam bentuk ayat-ayat dan nash-nash kitab suci serta riwayat-riwayat yang qat’i (yakin dan pasti) keluar dari ucapan Nabi Saw dan imam-imam maksum As (dalam agama Islam, khususnya mazhab syi’ah 12 imam), semuanya ini merupakan jenis makrifat, karena itu berbeda dengan tabiat. Oleh kerena itu, kita tidak boleh berargumen bahwa sebagaimana tabiat adalah ‘diam’ dan para ilmuan ilmu-ilmu tabi’i dengan melakukan penelitian dan observasi terhadap alam tabiat maka tabiat dibawanya dalam kondisi seakan-akan berbicara dengan mengungkapkan hakikat dan rahasia yang dikandungnya maka para ulama ilmu-ilmu agama juga melakukan hal yang serupa, yakni ayat-ayat dan nash-nash kitab suci serta riwayat-riwayat yang qat’i keluar dari Rasulullah Saw dan imam-imam maksum As juga adalah ‘diam’ dan ‘munfa’il’ serta menunggu ditemukan oleh ulama ilmu-ilmu agama baru kemudian berbicara tentang hakikat dan rahasianya.

Tabiat, kenyataannya memang demikian, sebab ia adalah alam yang mempunyai sistem dan aturan materi yang keberadaannya di luar dzihn kita; karena itu ia diam dan bukan dari jenis makrifat. Berbeda dengan agama dan syariat, ia tidak dapat diqiyaskan dengan alam tabiat dan diasumsikan ‘diam’; sebab ia sendiri merupakan sekumpulan proposisi-proposisi makrifat yang diperoleh dari pengungkapan Nabi Saw, baik itu wahyu al-Qur’ani, maupun riwayat-riwayat qat’i yang keluar dari beliau Saw. Oleh karena itu, agama dan syariat tidak seperti tabiat yang merupakan suatu perkara phenomen sehingga ia sebagai phenomen dalam berhadapan dengan ilmu.

Berasaskan ini, teori pluralisme agama tidak dapat mengambil bantuan dari teori epistemologi Kant untuk beristidlal tentang teori dan pandangannya. Dan sebagaimana telah dijelaskan, perkara agama sendiri dari jenis makrifat, sehingga setiap orang yang beriman kepada agama, pertama membutuhkan mendengarkan proposisi-proposisi agama (yang datang dari nabi atau pembawa agama), kemudian menganalisa serta merenungkan tentang kesahihan dan kebohongan proposisi-proposisi tersebut, apakah ia sesuai realitas ataukah tidak, dan terakhir mengimani agama yang sahih dan benar. Dalam hal ini bisa saja seseorang salah dalam menentukan agama yang dipilihnya, sebab proposisi-priposisi tauhid, syirik, dan trinitas yang saling berlawanan, dapat membawa orang pada kesalahan dalam menyesuaikan antara teori yang ada dengan kenyataan yang ada. Tapi yang pasti salah satu dari proposisi-proposisi yang ada adalah sahih dan sesuai dengan realitas. Oleh karena itu, kepluralan dalam melihat dan membaca hakikat yang berdampak pluralisme agama, yang memandang semua agama adalah sahih dan benar, tidak memiliki tempat istidlal bagi teori epistemologi Kant.
[Sumber: www.wisdoms4all.com]

[1] Abdul Karim Sorush, Sirathâ-ye Mustaqim, Hal. 19-22.
[2] John Hick, Mabâhes-e Pluralisme Dini, Hal. 80.
[3] John Hick, Falsafeh Din, Hal. 245
[4] Ja’far Subhani, Masâel-e Jadid dar Ilm-e Kalam, Hal. 322.
[5]Atâullah Karimi, Syenakht, Jld. 1, Hal. 119.
[6] Ja’far Subhani, Nazhariyyeh Kant wa Arzesy-e Ma’lumât, Majaleh Nur-e ‘Ilm, No. 11,  Hal. 38.
[7] Menukil dari Farzâd Najafi, Tahlil Intiqâdi Mabâni Makrifat Syenâkht Pluralisme Dini, Hal. 110.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ah lo mah babaturan BTB

Pagi shob.. setelah sekian lama kita berkelana di muka bumi yag kita cintai ini, pastinya menumkan dan merasakan berbagai hal. dalam istilah IPS kita sebagai makhluk sosial tidak bisa hidup tanpa bantuan orang lain, akan sangat perlu bantuan dan kerjasama dengan orang lain dalam setiap aspek kehidupan, seiring dengan berjalnnya waktu yang kita lewati kita akan sering berkenalan dengan orang dan disitulah terjalin istilah pertemanan / sahabat bahkan yang lebih jauh ialah menjadi pasangan hidup (suami/istri)

Makalah Perkembangan Lansia

KATA PENGANTAR Pertama-tama marilah kita panjatkan puji serta syukur kita kepada Tuhan yang Maha Esa, yang dimana sampai saat ini rahmat dan anugrah-Nya masih selalu tercurah pada kita, salawat dan salam semoga tetap tercurah kepada nabi Muhammad SAW, kepada keluarga dan para sahabat-sahabatnya. Penulis sebagai penyusun makalah Perkembangan moral dan keberagamaan pada lansia ini bertujuan untuk memberikan pemaparan tentang perkembangan moral dan keberagamaan yang terjadi pada lansia (lanjut usia), selain hal itu makalah ini dibuat sebagai salah satu tugas mata kuliah Psikologi perkembangan. Semoga makalah ini bisa bermanfaat, terutama bagi mahasiswa yang sedang mempelajari mata kuliah psikologi perkembangan dan umumnya untuk seluruh pembaca. Bandung, 25 Desember 2011 Penyusun BAB I PENDAHULUAN A.       Latar Belakang Perkembangan menunjukan suatu proses tertentu yaitu suatu proses yang menuju ked...

Sejarah perkembangan tasawuf di Sumatra Barat

PENDAHULUAN             Sumatera Barat merupakan salah satu wilayah di Nusantara yang terpengaruh pemikiran tasawuf di Aceh. Ini bisa dibuktikan dengan berkembangnya pemikiran-pemikiran tasawuf dan ordo tarekat di wilayah ini. Salah satu ordo tarekat yang berkembang pesat di Sumatera Barat yang bermula dari Aceh, adalah Tarekat Syatariyah. Pembawa pertama tarekat ini adalah Syaikh Abdullah al-Syathari (wafat 1415 M., ada juga yang mengatakan tahun 1428).             Dari kenyataan tersebut jelas bahwa pemikiran tasawuf yang berkembang di Sumatera Barat dipengaruhi pemikir tasawuf Aceh, terutama dari Abdul Rauf Singkel. Itulah sebabnya, dalam masalah pemikiran tasawuf, orang-orang Islam di Sumatera Barat meng