Oleh: Nyai. Fauziah Ahmad, S.Th.I dan Syamsurrijal
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Formulasi konsep-konsep dalam dunia tasawuf mulai nampak sejak abad ke-3 dan ke-4 H. Ini diawali dengan semakin banyaknya orang yang mempraktikkan jalan sufi yang di dalamnya mereka mendapat pengalaman keagamaan (religious experience) yang beraneka ragam. Pengalaman keagamaan itu bahkan ada yang dinilai telah keluar dari ortodoksi Islam oleh para ulama–biasanya terdiri dari kalangan ahli fiqih. Dari sinilah kemudian muncul “perdebatan” bahkan “pertentangan” antara sufisme dan syariah yang dalam sejarahnya Islam selain telah menghabiskan energi para ulama untuk mendamaikannya.
Berkaitan dengan pengalaman keagamaan yang diperoleh kaum sufi dan upaya untuk mendamaikan pertentangan antara sufisme dan syariah itulah kemudian dalam literatur sufi muncul konsep-konsep maqamat dan ahwal. Sebab, dalam konteks seperti itu tasawuf tidak bisa tinggal puas dengan kesalehan asketis dan seruan cintanya terus-menerus. Sekali pandangan umumnya telah memperoleh pengikut dan di antara pengikutnya terdapat kalangan ortodoksi yang terpandang, segera ia mengembangkan metodologi “jalan batin” atau jalan spiritual menuju Tuhan. Namun, lebih dari sekedar mendamaikan antara sufirme dan syariah, kemunculan konsep-konsep dan metode dalam tasawuf juga dipicu oleh tuduhan kalangan ulama atas klaim-klaim kaum sufi. Para ulama berpendapat bahwa kalau klaim-klaim kaum sufi seluruhnya diakui, maka akan timbul kekacauan spiritual karena tidak mungkinnya mengatur, mengontrol, bahkan meramalkan jalannya “kehidupan spiritual” itu. Dzunnun al-Misri (w. 245/859), misalnya, yang pada umumnya dianggap telah berjasa oleh kaum sufi atas usahanya mengklasifikasikan tahap-tahap perkembangan spiritual, benar-benar telah dituduh menyelewengkan ajaran agama di Bagdad pada 240 H./854 M. Selain itu–yang lebih penting lagi–kaum sufi sendiri tampaknya memang merasa perlu untuk mengembangkan suatu metode kontrol dan kritik untuk membakukan dan sejauh mungkin mengobjektifkan pengalaman-pengalaman mereka.
Dengan arah dan motivasi seperti itulah kemudian di kalangan kaum sufi dikenal tahapan-tahapan atau “station-station” (maqamat) jalan sufi. Selain itu, dari kandungan maqamat itu juga diperinci lagi sebuah teori tentang “keadaan-keadaan” (ahwal) yang–meminjam istilah Rahman–bersifat psiko-gnostik.[1] Pada umumnya isimaqamat itu dinyatakan dalam terminologi yang sepenuhnya dipinjam dari Alquran, seperti tobat, sabar, syukur, dan sebagainya.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, masalah yang akan dikaji dalam makalah ini adalah :
Apa pengertian dan hakikat maqamat ?
Bagaimana hakikat ahwal dalam tradisi sufi ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Maqamat
“Maqamat dan Ahwal” adalah dua kata kunci yang menjadi icon untuk dapat mengakses lebih khusus ke dalam inti dari sufisme, yang pertama berupa tahapan-tahapan yang mesti dilalui oleh calon sufi untuk mencapai tujuan tertinggi, berada sedekat-dekatnya dengan Tuhan, dan yang kedua merupakan pengalaman mental sufi ketika menjelajah maqamat. Dua kata ‘maqamat dan ahwal’ dapat diibaratkan sebagai dua sisi mata uang yang selalu berpasangan. Namun urutannya tidak selalu sama antara sufi satu dengan yang lainnya. Maqamat adalah bentuk jamak dari katamaqam, yang secara terminologi berarti tingkatan, posisi, stasiun, lokasi. Secara terminologi Maqamat bermakna kedudukan spiritual atau Maqamat adalah stasiun-stasiun yang harus dilewati oleh para pejalan spiritual (salik) sebelum bisa mencapai ujung perjalanan.[2] Istilah Maqamat sebenarnya dipahami berbeda oeh para sufi. Secara terminologis kata maqam dapat ditelusuri pengertiannya dari pendapat para sufi, yang masing-masing pendapatnya berbeda satu sama lain secara bahasa. Namun, secara substansi memiliki pemahaman yang hampir sama.
Menurut al-Qusyairi (w. 465 H) maqam adalah tahapan adab (etika) seorang hamba dalam rangka wushul (sampai) kepadaNya dengan berbagai upaya, diwujudkan dengan suatu tujuan pencarian dan ukuran tugas. Adapun pengertian maqam dalam pandangan al-Sarraj (w. 378 H) yaitu kedudukan atau tingkatan seorang hamba dihadapan Allah yang diperoleh melalui serangkaian pengabdian (ibadah), kesungguhan melawan hawa nafsu dan penyakit-penyakit hati (mujahadah), latihan-latihan spiritual (riyadhah) dan mengarahkan segenap jiwa raga semata-mata kepada Allah.
Semakna dengan al-Qusyairi, al-Hujwiri (w. 465 H) menyatakan bahwa maqam adalah keberadaan seseorang di jalan Allah yang dipenuhi olehnya kewajiban-kewajiban yang berkaitan dengan maqam itu serta menjaganya hingga ia mencapai kesempurnaannya. Jika diperhatikan beberapa pendapat sufi diatas maka secara terminologis kesemuanya sepakat memahami Maqamat bermakna kedudukan seorang pejalan spiritual di hadapan Allah yang diperoleh melalui kerja keras beribadah, bersungguh-sungguh melawan hawa nafsu dan latihan-latihan spiritual sehingga pada akhirnya ia dapat mencapai kesempurnaan.[3] Bentuk maqamat adalah pengalaman-pengalaman yang dirasakan dan diperoleh seorang sufi melalui usaha-usaha tertentu; jalan panjang berisi tingkatan-tingkatan yang harus ditempuh oleh seorang sufi agar berada sedekat mungkin dengan Allah. Tasawuf memang bertujuan agar manusia (sufi) memperoleh hubungan langsung dengan Allah sehingga ia menyadari benar bahwa dirinya berada sedekat-dekatnya dengan Allah. Namun, seorang sufi tidak dapat begitu saja dekat dengan Allah. Ia harus menempuh jalan panjang yang berisi tingkatan-tingkatan (stages atau stations). Jumlah maqam yang harus dilalui oleh seorang sufi ternyata bersifat relatif. Artinya, antara satu sufi dengan yang lain mempunyai jumlah maqam yang berbeda. Ini merupakan sesuatu yang wajar mengingat maqamat itu terkait erat dengan pengalaman sufi itu sendiri.
Ibn Qayyim al-Jauziyah (w. 750 H) berpendapat bahwa Maqamat terbagi kepada tiga tahapan. Yang pertama adalah kesadaran (yaqzah), kedua adalah tafkir (berpikir) dan yang ketiga adalah musyahadah. Sedangkan menurut al-Sarraj Maqamat terdiri dari tujuh tingkatan yaitu taubat, wara’, zuhd, faqr, shabr, tawakkal dan ridha.[4] Al Ghazali dalam kitab Ihya Ulumudin membuat sistematika maqamat dengan taubat – sabar – faqir – zuhud – tawakal – mahabah – ma’rifat dan ridha. At Thusi menjelaskan maqamat sebagai berikut : Al Taubat – Wara – Zuhud – faqir – sabar – ridha – tawakal – ma’rifat. Al Kalabadhi (w. 990/5) didalam kitabnya “Al taaruf Li Madzhab Ahl Tasawuf” menjelaskan ada sekitar 10 maqamat : Taubat – zuhud – sabar – faqir – dipercaya – tawadhu (rendah hati) – tawakal – ridho – mahabbah (cinta) -dan ma’rifat.
Jika kembali kepada sejarah, sebenarnya konsep tentang Maqamat dan ahwal telah ada pada masa-masa awal Islam. Tokoh pertama yang berbicara tentang konsep ini adalah Ali Ibn Abi Thalib. Ketika ia ditanya tentang iman ia menjawab bahwa iman dibangun atas empat hal: kesabaran, keyakinan, keadilan dan perjuangan. Akan tetapi, macam-macam maqamat yang akan dijadikan acuan dalam bahasan ini lebih mengarah pada konsep al-Sarraj.
B. Maqamat
Sebagaimana telah disebutkan diatas tingkatan-tingkatan (Maqamat) yang harus dilalui oleh seorang salik menurut masing-masing ahli sufi terdiri dari beberapa tahapan. Masing-masing ketujuh maqam ini mengarah ke peningkatan secara tertib dari satu maqam ke maqam berikutnya. Dan pada puncaknya akan tercapailah pembebasan hati dari segala ikatan dunia.[5] Adapun maqamat yang dimaksud diantaranya sebagai berikut:
1. Taubat
Dalam beberapa literatur ahli sufi ditemukan bahwa maqam pertama yang harus ditempuh oleh salik adalah taubat dan mayoritas ahli sufi sepakat dengan hal ini. Beberapa diantara mereka memandang bahwa taubat merupakan awal semua maqamat yang kedudukannya laksana pondasi sebuah bangunan. Tanpa pondasi bangunan tidak dapat berdiri dan tanpa taubat seseorang tidak akan dapat menyucikan jiwanya dan tidak akan dapat dekat dengan Allah. Dalam ajaran tasawuf konsep taubat dikembangkan dan memiliki berbagai macam pengertian. Secara literal taubat berarti “kembali”. Dalam perspektif tasawuf , taubat berarti kembali dari perbuatan-perbuatan yang menyimpang, berjanji untuk tidak mengulanginya lagi dan kembali kepada Allah. Menurut para sufi dosa merupakan pemisah antara seorang hamba dan Allah karena dosa adalah sesuatu yang kotor, sedangkan Allah Maha Suci dan menyukai orang suci. Karena itu, jika seseorang ingin berada sedekat mungkin dengan Allah ia hrus membersihkan diri dari segala macam dosa dengan jalan tobat. Tobat ini merupakan tobat yang sebenarnya, yang tidak melakukan dosa lagi. Bahkan labih jauh lagi kaum sufi memahami tobat dengan lupa pada segala hal kecuali Allah. Tobat tidak dapat dilakukan hanya sekali, tetapi harus berkali-kali Dalam hal ini Dzu al-Nun al-Mishry membagi taubat pada dua bagian yaitu taubatnya orang awam dan orang khawas. Ia mengatakan:
توبة العوام من الذنوب وتوبة الخواص من الغفلة
Lebih lanjut al-Daqqaq membagi taubat dalam tiga tahap. Tahap pertama yaitu taubat kemudian inabah (kembali) dan tahap terakhir yaitu awbah. Menurut al-Sarraj tobat terbagi pada beberapa bagian. Pertama, taubatnya orang-orang yang berkehendak (Muridin), muta’arridhin, thalibin dan qashidin. Kedua, taubatnya ahli haqiqat (kaumkhawwas). Pada bagian ini para ahli haqiqat tidak ingat lagi akan dosa-dosa mereka karena keagungan Allah telah memenuhi hati mereka dan mereka senantiasa berzikir kepadaNya. Ketiga, taubat ahli ma’rifat (khusus al-khusus). Adapun taubatnya ahli ma’rifat yaitu berpaling dari segala sesuatu selain Allah.
2. wara’
kata wara’ secara etimologi mengarah pada kata الكفِّ والانقباض yang berarti menghindari atau menjauhkan diri.[6] Dalam perspektif tasawuf wara’ bermakna menahan diri hal-hal yang sia-sia, yang haram dan hal-hal yang meragukan (syubhat). Hal ini sejalan dengan hadits nabi:
حدثنا أحمد بن نصر النيسابوري وغير واحد قالوا حدثنا أبو مسهر عن إسمعيل بن عبد الله بن سماعة عن الأوزاعي عن قرة عن الزهري عن أبي سلمة عن أبي هريرة قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم من حسن إسلام المرء تركه ما لا يعنيه.[7]
“Diantara (tanda) kebaikan ke-Islaman seseorang ialah meninggalkan sesuatu yang tidak penting baginya”.
Adapun makna wara’ secara rinci adalah meninggalkan segala hal yang tidak bermanfaat berupa ucapan, penglihatan, pendengaran, perbuatan, ide atau aktivitas lain yang dilakukan seorang muslim.[8] Seorang salik hendaknya tidak hidup secara sembarangan, ia harus menjaga tingkah lakunya, berhati-hati jika berbicara dan memilih makanan dan minuman yang dikonsumsinya.
3. Zuhud
Kata zuhud banyak dijelaskan maknanya dalam berbagai literatur ilmu tasawuf. Karena zuhud merupakan salah satu persyaratan yang dimiliki oleh seorang sufi untuk mencapai langkah tertinggi dalam spiritualnya. Diantara makna kata zuhud adalah sebagaimana yang dikemukakan oleh imam al-Gazali “mengurangi keinginan kepada dunia dan menjauh darinya dengan penuh kesadaran”, adapula yang mendefenisikannya dengan makna “berpalingnya hati dari kesenangan dunia dan tidak menginginkannya”[9], “kedudukan mulia yang merupakan dasar bagi keadaan yang diridhai”, serta “martabat tinggi yang merupakan langkah pertama bagi salikyang berkonsentrasi, ridha, dan tawakal kepada Allah SWT”. Menurut Haidar Bagir konsep zuhud diidentikkan dengan asketisme[10] yang dapat melahirkan konsep lain yaitu faqr. Menurut Abu Bakr Muhammad al- Warraq (w. 290/903 M ) kata zuhud mengandung tiga hal yang mesti ditinggalkan yaitu huruf z berarti zinah (perhiasan atau kehormatan), huruf h berarti hawa (keinginan), dan d menunjuk kepada dunia (materi). Dalam perspektif tasawuf, zuhud diartikan dengan kebencian hati terhadap hal ihwal keduniaan padahal terdapat kesempatan untuk meraihnya hanya karena semata-mata taat dan mengharapkan ridha Allah SWT.
Menurut Syaikh Syihabuddin ada tiga jenis kezuhudan yaitu : pertama, Kezuhudan orang-orang awam dalam peringkat pertama. Kedua, kezuhudan orang-orang khusus (kezuhudan dalam kezuhudan). Hal ini berarti berubahnya kegembiraan yang merupakan hasil daripada zuhud hanyalah kegembiraan akhirat, sehingga nafsunya benar-benar hanya dipenuhi dengan akhirat. Ketiga, Kezuhudan orang-orang khusus dikalangan kaum khusus. Dalam peringkat ketiga ini adalah kezuhudan bersama Allah. Hal ini hanyalah dikhususkan bagi para Nabi dan manusia suci. Mereka telah merasa fana’ sehingga kehendaknya adalah kehendak Allah. Sedangkan menurut al-Sarraj ada tiga kelompok zuhud :
Kelompok pemula (mubtadiin), mereka adalah orang-orang yang kosong tangannya dari harta milik, dan juga kosong kalbunya.
Kelompok para ahli hakikat tentang zuhud (mutahaqqiqun fi al-zuhd). Kelompok ini dinyatakan sebagai orang-orang yang meninggalkan kesenangan-kesenangan jiwa dari apa-apa yang ada di dunia ini, baik itu berupa pujian dan penghormatan dari manusia.
Kelompok yang mengetahui dan meyakini bahwa apapun yang ada di dunia ini adalah halal bagi mereka, namun yakin bahwa harta milik tidak membuat mereka jauh dari Allah dan tidak mengurangi sedikitpun kedudukan mereka, semuanya semata-mata karena Allah.
4. Faqr
Faqr bermakna senantiasa merasa butuh kepada Allah. Sikap faqr sangat erat hubungannya dengan sikap zuhud. Jika zuhud bermakna meninggalkan atau menjauhi keinginan terhadap hal-hal yang bersifat materi (keduniaan) yang sangat diinginkan maka faqr berarti mengosongkan hati dari ikatan dan keinginan terhadap apa saja selain Allah, kebutuhannya yang hakiki hanya kepada Allah semata.
Orang yang faqr bukan berarti tidak memiliki apa-apa, namun orang faqir adalah orang yang kaya akan dengan Allah semata, orang yang hanya memperkaya rohaninya dengan Allah. Orang yang bersikap faqr berarti telah membebaskan rohaninya dari ketergantungan kepada makhluk untuk memenuhi hajat hidupnya. Ali Uthman al-Hujwiri dalam Kasyf al-Mahjub, mengutip seorang sufi yang mengatakan “Faqir bukan orang yang tak punya rezeki/penghasilan, melainkan yang pembawaan dirinya hampa dari nafsu rendah”. Dia juga mengutip perkataan Syekh Ruwaym bahwa “Ciri faqir ialah hatinya terlindung dari kepentingan diri, dan jiwanya terjaga dari kecemaran serta tetap melaksanakan kewajiban agama.”
5. Sabr
Sabar secara etimologi berarti tabah hati. Dalam Mu’jam Maqayis al-Lughah disebutkan bahwa kata sabar memiliki tiga arti yaitu menahan, sesuatu yang paling tinggi dan jenis bebatuan.[11] Sabar menurut terminologi adalah menahan jiwa dari segala apa tidak disukai baik itu berupa kesenangan dan larangan untuk mendapatkan ridha Allah. Dalam perspektif tasawuf sabar berarti menjaga menjaga adab pada musibah yang menimpanya, selalu tabah dalam menjalankan perintah Allah dan menjauhi segala laranganNya serta tabah menghadapi segala peristiwa. Sabar merupakan kunci sukses orang beriman. Sabar itu seperdua dari iman karena iman terdiri dari dua bagian. Setengahnya adalah sabar dan setengahnya lagi syukur baik itu ketika bahagia maupun dalam keadaan susah.[12] Makna sabar menurut ahli sufi pada dasarnya sama yaitu sikap menahan diri terhadap apa yang menimpanya.
Menurut al-Sarraj sabar terbagi atas tiga macam yaitu: orang yang berjuang untuk sabar, orang yang sabar dan orang yang sangat sabar.
6. Tawakkal
Tawakkal bermakna ‘berserah diri’. Tawakkal dalam tasawuf dijadikan washilah untuk memalingkan dan menyucikan hati manusia agar tidak terikat dan tidak ingin dan memikirkan keduniaan serta apa saja selain Allah. Pada dasarnya makna atau konsep tawakkal dalam dunia tasawuf berbeda dengan konsep agama. Tawakkal menurut para sufi bersifat fatalis, menggantungkan segala sesuatu pada takdir dan kehendak Allah. Syekh Abdul Qadir Jailany menyebut dalam kitabnya bahwa semua yang menjadi ketentuan Tuhan sempurna adanya, sungguh tidak berakhlak seorang salik jika ia meminta lebih dari yang telah ditentukan Tuhan.[13]
7. Ridha
Pada dasarnya beberapa ulama mengemukakan konsep ridha secara berbeda. Seperti halnya ulama Irak dan Khurasan yang berbeda mengenai konsep ini, apakah ia termasuk bagian dari maqam atau hal. Maqam ridha adalah ajaran untuk menanggapi dan mengubah segala bentuk penderitaan, kesengsaraan menjadi kegembiraan dan kenikmatan. Dalam kitab al-Risalah al-Qusyairiyah disebutkan beberapa pendapat ulama mengenai makna ridha[14], diantaranya pendapat Ruwaim yang mengatakan bahwa: الرضا: أن لو جعل الله جهنم على يمينه ما سأل أن يحولها إلى يساره. , sedang Abu Bakar Ibn Thahir berkata: الرضا: إخراج الراهية من القلب، حتى لا يكون فيه إلا فرح وسرور. . Menurut Imam al-Gazali ridha merupakan buah dari mahabbah. Dalam perspektif tasawuf ridha berarti sebuah sikap menerima dengan lapang dada dan senang terhadap apapun keputusan Allah kepada seorang hamba, meskipun hal tersebut menyenangkan atau tidak. Sikap ridha merupakan buah dari kesungguhan seseorang dalam menahan hawa nafsunya.[15]
Ridha menurut al-Sarraj merupakan sesuatu yang agung dan istimewa, maksudnya bahwa siapa yang mendapat kehormatan dengan ridha berarti ia telah disambut dengan sambutan paling sempurna dan dihormati dengan penghormatan tertinggi. Dalam kitabnya al-Luma’ al-sarraj lebih lanjut mengemukakan bahwa maqam ridha adalah maqam terakhir dari seluruh rangkaian maqamat. Imam al-Gazali mengatakan bahwa hakikat ridha adalah tatkala hati senantiasa dalam keadaan sibuk mengingatnya. Berdasarkan pernyataan tersebut dapat dipahami bahwa seluruh aktivitas kehidupan manusia hendaknya selalu berada dalam kerangka mencari keridhaan Allah.
C. Ahwal
Ahwal adalah bentuk jamak dari ‘hal’ yang biasanya diartikan sebagai keadaan mental (mental states) yang dialami oleh para sufi di sela-sela perjalanan spiritualnya.[16]Ibn Arabi menyebut hal sebagai setiap sifat yang dimiliki seorang salik pada suatu waktu dan tidak pada waktu yang lain, seperti kemabukan dan fana’. Eksistensinya bergantung pada sebuah kondisi. Ia akan sirna manakala kondisi tersebut tidak lagi ada. Hal tidak dapat dilihat dilihat tetapi dapat dipahami dan dirasakan oleh orang yang mengalaminya dan karenanya sulit dilukiskan dengan ungkapan kata.[17]
Telah disebutkan diatas bahwa penjelasan mengenai perbedaan maqamat dan hal membingungkan karena definisi dari masing-masing tokoh tasawuf berbeda tetapi umumnya yang dipakai sebagai berikut: Maqamat adalah perjalanan spiritual yang diperjuangkan oleh para sufi untuk memperolehnya. Perjuangan ini pada hakikatnya merupakan perjuangan spiritual yang panjang dan melelahkan untuk melawan hawa nafsu termasuk ego manusia yang dipandang sebagai berhala besar dan merupakan kendala untuk menuju Tuhan. Didalam kenyataannya para Salik memang untuk berpindah dari satu maqam ke maqam lain memerlukan waktu berbilang tahun, sedangkan “ahwal” sering diperoleh secara spontan sebagai hadiah dari Tuhan. Lebih lanjut kaum sufi mengatakan bahwa hal adalah anugerah dan maqam adalah perolehan (kasb). Tidak ada maqam yang tidak dimasuki hal dan tidak ada hal yang terpisah dari maqam.[18]
Beberapa ulama mengatakan bahwa hal adalah sesuatu yang tidak diam dan tidak mengikat (dinamis). Al-Gazali dalam memberi pandangan yang menyatakan bahwa apabila seseorang telah mantap dan tetap dalam suatu maqam, ia akan memperoleh suatu perasaan tertentu dan itulah hal. Mengenai hal ini ia juga memberi contoh tentang warna kuning yang dapat dibagi menjadi dua bagian, ada warna kuning yang tetap seperti warna kuning pada emas dan warna kuning yang dapat berubah seperti pada sakit kuning. Seperti itulah kondisi atau hal seseorang. Kondisi atau sifat yang tetap dinamakan maqam sedangkan yang sifatnya berubah dinamakan hal. Menurut Syihabuddin Suhrawardi seseorang tidak mungkin naik ke maqam yang lebih tinggi sebelum memperbaiki maqam sebelumnya. Namun, sebelum beranjak naik, dari maqam yang lebih tinggi turunlah hal yang dengan itu maqamnya menjadi kenyataan.[19] Oleh karena itu, kenaikan seorang salik dari satu maqam ke maqam berikutnya disebabkan oleh kekuasaan Allah dan anugerahNya, bukan disebabkan oleh usahanya sendiri. pernyataan diatas memberikan pemahaman bahwa maqam bersifat lebih permanent keberadaannya pada diri sang salik daripada hal. Selain itu, maqamat lebih merupakan hasil upaya aktif para salik, sedangkan ahwal merupakan anugerah atau uluran Allah yang sifatnya pasif.
Sebagaimana halnya dengan maqam, hal juga terdiri dari beberapa macam. Namun, konsep pembagian atau formulasi serta jumlah hal berbeda-beda dikalangan ahli sufi. Diantara macam-macam hal yaitu; muraqabah, khauf, raja’, syauq, Mahabbah, tuma’ninah, musyahadah, yaqin.
1. Muraqabah
Secara etimologi muraqabah berarti menjaga atau mengamati tujuan. Adapun secara terminologi muraqabah adalah salah satu sikap mental yang mengandung pengertian adanya kesadaran diri bahwa ia selalu berhadapan dengan Allah dan merasa diri diawasi oleh penciptanya.[20] Pengertian tersebut sejalan dengan pendangan al-Qusyairi bahwa muraqabah adalah keadaan mawas diri kepada Allah dan mawas diri juga berarti adanya kesadaran sang hamba bahwa Allah senantiasa melihat dirinya.
2. Khauf
Menurut al-Qusyairi, takut kepada Allah berarti takut terhadap hukumnya. Al-khauf adalah suatu sikap mental merasa takut kepada Allah karena kurang sempurna pengabdiannya atau rasa takut dan khawatir jangan sampai Allah merasa tidak senang kepadanya. Ibn Qayyim memandang khauf sebagai perasaan bersalah dalam setiap tarikan nafas. Perasaan bersalah dan adanya ketakutan dalam hati inilah yang menyebabkan orang lari menuju Allah.
3. Raja’
Raja’ bermakna harapan. Al-Gazali memandang raja’ sebagai senangnya hati karena menunggu sang kekasih datang kepadanya. Sedangkan menurut al-Qusyairi raja’ adalah keterpautan hati kepada sesuatu yang diinginkannya terjadi di masa akan datang. Sementara itu, Abu Bakar al-Warraq menerangkan bahwa raja’ adalah kesenangan dari Allah bagi hati orang-orang yang takut, jika tidak karena itu akan binasalah diri mereka dan hilanglah akal mereka. Dari beberapa pendapat yang dikemukakan ahli sufi diatas dapat dipahami bahwa raja’ adalah sikap optimis dalam memperoleh karunia dan nikmat Allah SWT yang disediakan bagi hambaNya yang saleh dan dalam dirinya timbul rasa optimis yang besar untuk melakukan berbagai amal terpuji dan menjauhi perbuatan yang buruk dan keji.
4. Syauq
Syauq bermakna lepasnya jiwa dan bergeloranya cinta. Para ahli sufi menyatakan bahwa syauq merupakan bagian dari mahabbah. Sehingga pengertian syauq dalam tasawuf adalah suasana kejiwaan yang menyertai mahabbah. Rasa rindu ini memancar dari kalbu karena gelora cinta yang murni. Untuk menimbulkan rasa rindu kepada Allah maka seorang salik terlebih dahulu harus memiliki pengetahuan dan pengenalan terhadap Allah. Jika pengetahuan dan pengenalan terhadap Allah telah mendalam, maka hal tersebut akan menimbulkan rasa senang dan gairah. Rasa senang akan menimbulkan cinta dan akan tumbuh rasa rindu, rasa rindu untuk selalu bertemu dan bersama Allah.
5. Mahabbah
Cinta (mahabbah) adalah pijakan atau dasar bagi kemuliaan hal. Seperti halnya taubat yang menjadi dasar bagi kemuliaan maqam.[21] Al-Junaid menyebut mahabbah sebagai suatu kecenderungan hati. Artinya, hati seseorang cenderung kepada Allah dan kepada segala sesuatu yang datang dariNya tanpa usaha. Adapun dasar paham mahabbah antara lain dalam firman Allah:
ü $pkr’¯»t tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä `tB £s?öt öNä3YÏB `tã ¾ÏmÏZÏ t$öq|¡sù ÎAù’t ª!$# 5Qöqs)Î/ öNåk:Ïtä ÿ¼çmtRq6Ïtäur A’©!Ïr& n?tã tûüÏZÏB÷sßJø9$# >o¨Ïãr& n?tã tûïÍÏÿ»s3ø9$# crßÎg»pgä Îû È@Î6y «!$# wur tbqèù$ss sptBöqs9 5OͬIw 4 y7Ï9ºs ã@ôÒsù «!$# ÏmÏ?÷sã `tB âä!$t±o 4 ª!$#ur ììźur íOÎ=tæ ÇÎÍÈ
“Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, Maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya, yang bersikap lemah Lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha luas (pemberian-Nya), lagi Maha Mengetahui.”[22]
ü ö@è% bÎ) óOçFZä. tbq7Åsè? ©!$# ÏRqãèÎ7¨?$sù ãNä3ö7Î6ósã ª!$# öÏÿøótur ö/ä3s9 ö/ä3t/qçRè 3 ª!$#ur Öqàÿxî ÒOÏm§
“Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”[23]
Adapun tanda-tanda mahabbah menurut Suhrawardi yaitu; 1) di dalam hati sang pencinta tidak ada kecintaan pada dunia dan akhirat nanti. 2) ia tidak boleh cenderung pada keindahan atau kecantikan lain yang mungkin terlihat olehnya atau mengalihkan pandangannya dari keindahan Allah. 3) ia mesti lebih mencintai sarana untuk bersatu dengan kekasih dan tunduk. 4) karena dipenuhi dan dibakar cinta, ia mestilah menyebut-nyebut nama Allah tanpa lelah. 5) Ia harus mengabdi kepada Allah dan tidak menentang perintahNya. 6) apapun pilhannya pandangannya selalu mengharapkan keridhaan Allah. 7) menyaksikan Allah dan bersatu denganNya tidak harus mengurangi kadar cinta dalam dirinya. Dalam dirinya harus bangkit sifat syauq, dan ketakjuban.
Tokoh utama paham mahabbah adalah Rabi’ah al-Adawiyah (95 H-185 H). Menurutnya, cinta kepada Allah merupakan cetusan dari perasaan cinta dan rindu yang mendalam kepada Allah. Konsep mahabbahnya banyak tertuang dalam syair-syairnya.
Tuma’ninah
Secara bahasa tuma’ninah berarti tenang dan tentram. Tidak ada rasa was-was atau khawatir, tak ada yang dapat mengganggu perasaan dan pikiran karena ia telah mencapai tingkat kebersihan jiwa yang paling tinggi. Menurut al-Sarraj tuma’ninah sang hamba berarti kuat akalnya, kuat imannya, dalam ilmunya dan bersih ingatannya. Seseorang yang telah mendapatkan hal ini sudah dapat berkomunikasi langsung dengan Allah SWT.
Musyahadah
Dalam perspektif tasawuf musyahadah berarti melihat Tuhan dengan mata hati, tanpa keraguan sedikitpun, bagaikan melihat dengan mata kepala. Hal ini berarti dalam dunia tasawuf seorang sufi dalam keadaan tertentu akan dapat melihat Tuhan dengan mata hatinya. Musyahadah dapat dikatakan merupakan tujuan akhir dari tasawuf, yakni menemukan puncak pengalaman rohani kedekatan hamba dengan Allah. Dalam pandangan al-Makki, musyahadah juga berarti bertambahnya keyakinan yang kemudian bersinar terang karena mampu menyingkap yang hadir (di dalam hati). Seorang sufi yang telah berada dalam hal musyahadah merasa seolah-olah tidak ada lagi tabir yang mengantarainya dengan Tuhannya sehingga tersingkaplah segala rahasia yang ada pada Allah.
Yaqin
Al-yaqin berarti perpaduan antara pengetahuan yang luas serta mendalam dan rasa cinta serta rindu yang mendalam pula sehingga tertanamlah dalam jiwanya perjumpaan secara langsung dengan Tuhannya. Dalam pandangan al-Junaid yaqin adalah tetapnya ilmu di dalam hati, ia tidak berbalik, tidak berpindah dan tidak berubah. Menurut al-Sarraj yaqin adalah fondasi dan sekaligus bagian akhir dari seluruh ahwal. Dapat juga dikatakan bahwa yaqin merupakan esensi seluruh ahwal .
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Setelah membahas dan memahami uraian di atas, dapat dibuat beberapa point dalam sebuah kesimpulan sebagai berikut:
Maqam adalah tingkatan yang harus ditempuh oleh para pejalan spiritual untuk sampai pada titik akhir tujuan.
Pada dasarnya konsep mengenai tingkatan atau macam-macam maqam menurut ahli sufi berbeda antara satu dengan yang lainnya, diantara mereka ada yang menyebutkan bahwa tingkatan tersebut terdiri dari taubat, wara’, zuhd, faqr, shabr, tawakkal dan ridha. Adapula yang membuat sistematika maqamat dengan taubat – sabar – faqir – zuhud – tawakal – mahabah – ma’rifat dan ridha dan sebagainya.
Maqam sifatnya lebih dinamis dan aktif karena merupakan usaha dari para salik sendiri.
Ahwal adalah keadaan yang dialami oleh para salik di tengah-tengah perjalanan spiritualnya. Hal sifatnya lebih statis, karena ia merupakan anugerah Allah yang timbulnya secara spontan pada diri sang salik tanpa ada usaha terlebih dahulu.
Sebagaimana maqam, hal juga terdiri dari beberapa macam. Diantaranya adalah muraqabah, khauf, raja’, syauq, Mahabbah, tuma’ninah, uns, musyahadah, yaqin.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Ibn Faris Ibn Zakariyya Abu al-Husain, Maqayis al-Lughah, Beirut: Dar al-Fikr.
Al-Gazali, Ihya Ulumuddin, Dar al-Ma’rifah: Beirut, tt.
Al-Jailani Syekh Abdul Qadir, Rahasia Sufi Agung, penerj. Abdul Madjid, (Cet. I; DIVA press: Yogyakarta, 2008)
Al-Qusyairiy, al-Risalah al-Qusyairiyah (CD al-Maktabah al-Syamilah)
al-Turmudzi Abu Isa Muhammad Ibn Isa Ibn Saurah, Sunan al Turmudzi, Beirut: Dar al Fikr, 1994).
Azra Azyumardi dkk, Ensiklopedi Islam, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 2005.
Bagir Haidar, Buku Saku Tasawuf, (Cet. II; Mizan: Bandung), 2006.
Basyuniy Ibrahim, Nasy’ah al-Taswuf al-Islamiy, Dar al-Ma’arif: Mesir, 1119 H[1]
Rahman Fazlur, Islam, Terjemahan oleh Ahsin Muhammad dari Islam, (Bandung: Pustaka, 1984)
Simuh, Tasawuf Dan Perkembangannya Dalam Islam, (Cet. II; Raja Grafindo Persada: Jakarta), 1997.
Suhrawardi Syekh Syihabuddin Umar, Awarif al-Ma’arif., (ter. Edisi Indonesia Oleh Ilma Nugraha ni Ismail), Pustaka Hidayah, Bandung, 1998.
Zainul Bahri Media, Menembus Tirai KesendirianNya: Mengurai Maqamat dan Ahwal Dalam Tradisi Sufi, (Cet. I; Prenada Media: Jakarta), 2005.
[1] Fazlur Rahman, Islam, Terjemahan oleh Ahsin Muhammad dari Islam, (Bandung: Pustaka, 1984), h. 195.
[2] Haidar Bagir, Buku Saku Tasawuf, (Cet. II; Mizan: Bandung), 2006, h. 133.
[3] Ibid, h. 131.
[4] Media Zainul Bahri, Menembus Tirai KesendirianNya: Mengurai Maqamat dan Ahwal Dalam Tradisi Sufi, (Cet. I; Prenada Media: Jakarta), 2005, h. 44.
[5] Simuh, Tasawuf Dan Perkembangannya Dalam Islam, (Cet. II; Raja Grafindo Persada: Jakarta), 1997, h. 49.
[6] Abu al-Husain Ahmad Ibn Faris Ibn Zakariyya, Maqayis al-Lughah, Beirut: Dar al-Fikr, Juz VI, h. 75.
[7] Hadits diatas diriwayatkan oleh Imam Turmudzi dengan sanad yang garib. selain Turmudzi hadits ini juga diriwayatkan oleh Imam Malik, Ibn Majah dan Imam Ahmad. (Abu Isa Muhammad Ibn Isa Ibn Saurah al-Turmudzi, Sunan al Turmudzi, Beirut: Dar al Fikr, 1994), bab فيمن تكلم بكلمة يضحك بها الناس Juz VIII, h. 294.
[8] Media Zainul Bahri, Menembus Tirai KesendirianNya: Mengurai Maqamat dan Ahwal Dalam Tradisi Sufi, Op. Cit, h. 52.
[9] Syekh Syihabuddin Umar Suhrawardi, Awarif al-Ma’arif., (ter. Edisi Indonesia Oleh Ilma Nugraha ni Ismail), Pustaka Hidayah, Bandung, 1998, h. 163
[10] Asketisme pada mulanya merupakan suatu sikap biarawan atau rahib-rahib yang menghindari kehidupan dunia dengan harapan bisa menyucikan diri agar dapat bertemu dengan Tuhan. Lihat Haidar Bagir. Buku Saku Tasawuf, Op. Cit. h. 105
[11] Abu al-Husain Ahmad Ibn Faris Ibn Zakariya, Mu’jam Maqayis al-Lughah, Beirut: Dar al-Fikr. Juz I, h. 329.
[12] Hal tersebut sejalan dengan hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Suhaib:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَجَبًا لِأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ وَلَيْسَ ذَاكَ لِأَحَدٍ إِلَّا لِلْمُؤْمِنِ إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ
[13] Syekh Abdul Qadir al-Jailani, Rahasia Sufi Agung, penerj. Abdul Madjid, (Cet. I; DIVA press: Yogyakarta, 2008), h. 362.
[14] Imam Qusyairy, al-Risalah al-Qusyairiyah, Juz I, h. 89.
[15] Ibrahim Basyuniy, Nasy’ah al-Taswuf al-Islamiy, Dar al-Ma’arif: Mesir, 1119 H, h. 139.
[16] Haidar Bagir, Buku Saku Tasawuf, Loc. Cit, h. 133.
[17] Azyumardi Azra dkk, Ensiklopedi Islam, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 2005, h. 287.
[18] Syihabuddin Umar Suhrahwardi, ‘Awarif al-Ma’arif, Op. Cit, h. 109.
[19] Ibid, h. 111.
[20] Ensiklopedi Islam, Op. Cit, h. 287.
[21] Syihabuddin Umar Suhrahwardi, ‘Awarif al-Ma’arif, Op. Cit, h. 185.
[22] Q. S. al-Maidah : 54
[23] Q. S. Ali Imran : 31.
Komentar