NAMA :
HENDRA KOMARA
NIM :
1210104014
JURUSAN :
TASAWUF PSIKOTERAPI
1.
Tahap oral (Oris =mulut)
Tahapan ini berlangsung selama 18 bulan
pertama kehidupan, Pada tahap oral ini bayi yang masih menetek yang selurh
hidupny abergantung kepada orang lain. Pada masa ini libido didistribusikan
kedaerah oral sehingga perbuatan menghisap dan menelan menjadikan metode utama
untuk mereduksi ketegangan dan mencapai kepuasan (kenikmatan). Karen amulut
menjadi sumber kenikmatan erotis, maka anak akan menikmati kenikmatan pristiwa
menetek pada ibunya dan juga memasukan segala jenis benda kedalam mulutnya,
termasuk jempolnya sendiri.
Gangguan yang dialami ketika tidak mencapai
kepuasan saat masa oral tersebut yitu, dapat menimbulkan gejala regresi
(kemunduran) yaitu berbuat seperti bayi atau anak yang sangat bergantung pada
orang tuanya atau banyak tuntutan yang harus dipenuhi dan juga gejala perasaan
iri hati (cemburu). Reaksi dari gejala tersebut dapat dinyatakan dalam beberapa
tingkah laku, seperti mengisap jempol, mengompol, membandel, dan memmbisu
seribu bahasa. Selain itu ketidak puasan ini akan berdampak kurang baik bagi
perkembangan keperibadian anak seperti; kurang merasa aman, selalu bergantung
kepada orang lain, selalu meminta perhatian orang lain atau egosentris. Sama
halnya dengan anak yang tidak mendapat kepuasan, anak yang mendapatkan kepuasan
secara berlebihan ternyata memberikan dampak yang kurang baik juga terhadap
perkembangan keperibadiannya. Dia akan menampilkan keperibadian yang kurang
mandiri, bersikap rakus, dan haus perhatian atau cinta orang lain. Menurut
freud fiksasi pad atahap ini dapat membentuk sikap obsesif yaitu makan dan
merokok pada kehidupan berikutnya (masa remaja dan dewasa), kemudian pada tahap
inijuga dorongan agresi sudah mulai berkembang.
2.
Tahap Anal (Anus = Dubur)
Pada tahap ini berada pada kisaran usia 2 sampai 3 tahun.
Pada tahap ini libido terdistribusikan kedaerah anus. Anak akan
mengalami ketegangan, ketika duburnya penuh dengan ampas makanan dan peristiwa
buang air besar yang dialami oleh anak merupakan proses pelepasan ketegangan
dan pencapaian kepuasan, rasa senang atau nikmat. Peristiwa ini disebut erotik
anal. Setelah melewati masa penyapihan, anak pada tahap ini dituntut untuk
mulai menyesuaikan diri dengan tuntutan orang tua(liingkungan), seperti hidup
bersih, tidak mengompol, tidak buang air kecil sembarangan. Orang tua
mengenalkan tuntutan tersebut melalui latihan kebersihan (toilet training),
yaitu usaha sosialisasi nilai-nilai sosial pertama yang sistematis sebagai
upaya untuk mengontrol dorongan-dorongan biologis anak. Ada kemungkinan cara
orang tua memberikan latihan kebersihan ini yaitu; sikap keras, sikap selalu
memuji dan sikap pengertian. Dari ketiga cara tersebut memberikan dampak
tersendiri tehadap perkembangan anak. Untuk mengetahui dampak tersebut dapat
dilihat melalui tabel di bawah ini:
Cara Pelatihan
|
Dampak
|
A. Sikap keras
|
1.
Bersikap berlebihan dalam ketertiban atau
kebersihan
2.
Bersikap kikir
3.
Sterotif- kurang kreatif
4.
Bersikap kejam/ keras/ sikap memusuhi
5.
Penakut
6.
Bersikp kaku
|
B. Selalu memuji
|
1.
Selalu ingin dipuji
2.
Kurang mandiri
|
C. Sikap pengertian
|
1.
Mampu beradaptasi atau menyesuaikna diri
2.
Egonya berkembang dengan wajar
|
3.
Tahap phallik (Phallus = dzakar)
Pada tahap ini berlangsung sekitar usia 4
sampai 5 tahun, pada usia ini anak mulai memperhatikan atau senang memainkan
alat kelaminnya sendiri. Dengan kata lain anak sudah mulai bermastrubasi, mengusap-ngusap
atau memijit-mijit organ seksualnya sendiri yang dimana akan menghasilkan
kepuasan atau kesenangan sendiri. Pada saat ini terjadi perkembangan berbagai
aspek psikologis, terutama yang terkait dengan iklim kehidupan sosiopsikologis
keluiarga atau perlakuan orang tua kepada anak. Pada tahap ini anak masih
bersikap “selfish”, sikap mementingkan diri sendiri, belium berorientasi
keluar atau memperhatikan orang lain. Perkembangan gejala-gejala psikologi
tersebut baik pada anak wanita maupun pria pada tabel berikut ini:
Gejala
|
Pengertian
|
Keterangan
|
Anak wanita
Irihati Dzakar
Penis envy
|
Sikap cemburu terhadap kelamiin laki-laki,
karena yang dimiliknya berbeda dengan yang dimiliki laki-laki.
|
Apabila ibunya bersikap ramah atau penuh
kasih sayang, maka gejala ini mudah terselesaikan. Namun apabila sebaliknya
maka anak akan sulit untuk memainkan perannya sendiri sebagai wanita, dan ia
akan memperotes kewanitannya.
|
Masculine protest
|
Protes terhadap kondisinya sebagai wanita,
sehingga ia lebih senang berperan sebagai anak laki-laki, bersikap keras, dan
senang memainkan permainan anak laki-laki.
|
Kondisi ini terjadi apabila lingkungan
bersikap merendahkan anak wanita, mungkin juga ibu sebagai figur juga untuk
diidentifikasi penampilannya kurang feminim.
|
Electra complex
|
Sikap anak wanita yang mencintai,
menyayangi, atau simpati kepada ayahnya. Gejala ini terkait dengan fakta
bahwa anak wanita tidak memiliki penis.
|
Kondisi ini terjadi karena ibunya bersikap
keras, sementara ayahnya bersikap menyayanginya (akrab).
|
Anak laki-laki
Oedipus complex
|
Perasaan cinta kepada ibu, dan sikap
memusuhi ayah karena dipandang sebagai pesaingnya. Oedipus ini adalah nama
yang diambil dari drama yunani kno yang mencitrakan raja oedipus (yang
terpisah dari orang tuanya sejak dilahirkan), tanpa diketahuinya ia mengawini
ibunya sendiri.
|
Gejala ini terjadi karena; (1) ibunya sejak
kecil mengurusnya dengan penuh kasih sayang, (2) ayanya jarang dirumah, (3)
ayah terlalu keras atau kurang memberikan rasa kasih sayang. Gejala ini
menyebabkan anak merasa bersalah kepada ayahnya maka untuk mengatasinya anak
mengidentifikasinya kepada ayah.
|
Castration anxiety
|
Kecemasan atau ketakutan anak akan perbuatan
ayahya untuk memotong (menyunat) penisnya, gara-gara di amemusuhi ayahnya.
Gejala ini muncul sebagai akibat dari oedipus complex.
|
Untuk mengatasinya anak mengidentifikasikan
diri kepada ayahnya.
|
Agar perkembangan anak pada tahap in berkembang dengan
baik, tidak mengalami hambatan maka sebaiknya orang tua memperhatikan beberapa
hal berikut ini:
1. Orang tua memlihara keharmonisan keluarga
2. Ibu memerankan dirinya sebagai feminin, bersikap ramah, gembira, dan
memberikan kasih sayang.
3. Ayah mampu memberikan figur sebagai ayah, menerapkan prinsip realitas dalam
mengatasi segala masalah hidup.
4. Ayah dan ibu memiliki komitmen yang tinggi dalam mengamalkan nilai-nilai
agama yang dianutnya.
5. Ayah bersikap demokratis, penu perhatian, akrab dengan anak dan tidak
munafik.
4.
Tahap latensi
Tahap ini berkisar antara usia 6 sampai 12
tahun (masa sekolah dasar), tahap ini merupakan tahap tenang seksual karena
segala sesuatu yang terkait dengan seks dihambat atau direpres (ditekan). Dengan
kata lain masa ini adalah periode tertahannya dorongan-dorongan seks dan
agresif. Selama masa ini anak mengembangkan kemampuannya bersublimasi (seperti
mengerjakan tugas-tugas sekolah, bermain olah raga, dan kegiatan-kegiatan
lainnya), dan mulai naruh perhatian untuk berteman. Mereka belum mempunyai
perhatian khusus kepada lawan jenis (bersikap netral) sehingga dalma bermainpun
anak laki-laki akan berkeompok dengan anak laki-laki lagi, begitupun dengan
anak wanita akan melakukan hal yang sama. Bahkan anak akan merasa malu apabila
disuruh duduk sebangku dengan lawan jenisnya. Tahap ini dipandang sebagai masa
perluasan kontak sosial dengan orang-orang di luar keluarganya. Oleh karena itu
proses identifikasipun mengalami perluasan atau pengalihan objek. Yang semula
objek identifikasi anak adalah orang tua, sekarang meluas kepada guru,
tokoh-tokoh sejarah, atau para bintang (seperti film, musik, dan olah raga).[1]
Kemudian pada fase ini dorongan dynamis itu
seakan-akan latent, yaitu dimana anak-anak pada masa ini secara relatif lebih
mudah untuk dididik daripada fase-fase sebelumnya bahkan sesudahnya. [2]
5.
Tahap Genital
Tahap ini dimulai kira-kira usia 12 sampai
dengan 13 tahun. Dimana pada tahap ini anak sudah bisa dikatakan sebagai anak
remaja . pada masa ini ditandai dengan matangnya organ reproduksi anak. Pada
fase ini insting seksual dan agresif kembali aktif. Anak mulai mengembangkan
motif untuk mencintai orang lain, atau mulai berkembangnya motif alturis
(keinginan untuk memperhatikan kepentingan orang lain terutama lawan jenisnya).
Motif-motif ini mendorong untuk berpartisipasi aktif dalam berbagai kegiatan
dan persiapan untuk memasuk masa kerja, pernikahan dan berkelarga. Masa ini
juga ditandai dengan proses pengalihan perhatian, dari mencari kepuasan atau
kenikmatan sendiri terhadap kehidupan sosial orang dewasa dan berorientasi
kepada kenyataan atau sikap altruis.
Secara singkat dari kelima tahapan diatas tadi
dapat di gambarkan seperti berikut:
Tahapan
|
usia
|
Pusat erotis
|
Pengalaman atau tugas kunci
|
Oral
|
0-1
|
Mulut
|
Penyapihan
dari menyusui
|
Anal
|
1-3
|
Anus
|
Toilet
training
|
Phalik
|
3-5
|
Penis
|
Identifikasi
kepada model-model peranan orang dewasa dan mengatasi krisis oedipal
|
latensi
|
6-12
|
Tidak ada
|
Memperluas kontak sosial
|
genital
|
12 ≥
|
Genital
|
Membangun
hubungan yang lebih intim, dan memberikan konstibusi kepada masyarakat
melalui bekerja.[3]
|
Daftar Pustaka
·
Syamsu Yusuf, 2008. Teori Keperibadian,
Bandung : Rosda Karya
·
Agus Sujanto dkk, 2001. Psikologi
Keperibadian, Jakarta : Bumi Aksara
·
Sumadi Suryabrata, 2006. Psikologi
Keperibadian, Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada
[1] Syamsu Yusuf, Teori keperibadian. Hlm. 63
[2] Agus Sujanto dkk. Hlm 66
[3] Syamsu Yusuf, Teori keperibadian. Hlm 41-68
Komentar