Oleh : Andi Rahmadi
Saya pernah membaca sebuah artikel yang berhubungan dengan tassawuf yang ditulis oleh Dr.Sayyed Hussein Nashr, beliau berpendapat bahwa sumber penderitaan manusia modern adalah kekeringan spiritual. Dan bagaimana bisa tidak kekeringan, manusia yang sebagian besar dipengaruhi oleh pemikiran modern yang materialistis, mekanistis, positivistis, dan seabreg pemikiran yang mereduksi keagungan yang dimiliki manusia. Semua itu membuat manusia menjadi teralienasi, mungkin kita bisa mengutip perkataan Jean Paul Sartre bahwa "manusia dikutuk untuk bebas" manusia terkutuk karena hidup ini tidak direncanakan, dan manusia merasa terlempar ke dunia ini, dan bagaimanapun manusia bebas dan bertanggung jawab terhadap perbuatannya. Di sisi lain manusia menghadapi kematian yang entah setelah mati manusia akan berada dimana, yang pasti manusia tidak akan bisa menghindari Kematian, dan jadilah manusia "terkutuk untuk mati". Kehidupan yang terasing, yang manusia tidak tahu harus berbuat apa, kehampaan makna, dan misteri kematian membawa manusia dalam kecemasan, dan kesengsaraan.
Dalam kehampaannya manusia terus berspekulasi, mencoba mencari tempat kembali, dan keabadian yang diharapkan akan membahagiakannya. Manusia berlari pada harta, mengumpulkan sebanyak banyaknya bagaimanapun caranya korupsi pun tak masalah. Manusia berlari pada kekuasaan saling sikut untuk bisa duduk di kursi panas tak peduli meskipun ada yang didzalimi. Dan manusia bisa lari kemana saja, dan tersesat dimana saja. Namun penderitaan manusia tak kunjung usai, seruling bambu yang diceritakan Rumi masih bersenandung pilu dan masih belum kembali ke rumpun induknya.
Solusi Psikoterapi
Dengan melihat, lebih tepatnya dengan apa yang saya pahami bahwa, penderitaan manusia adalah kekeringan spiritual, dan kehampaan makna. Maka saya berasumsi bahwa tekhnik yang cocok untuk meredam gelisah jiwa manusia modern adalah Logoterapi. Pasalnya jika melihat pengalaman Viktor Frankl yang pernah mengalami kekejaman Nazi yang sedemikian rupa, Frankl masih tetap bertahan. Itu artinya sudah teruji sendiri oleh penemunya.
Jalaluddin Rumi pun memberikan makna kepada penderitaan sebagai berikut :
Lihatlah buncis dalam periuk, betapa ia meloncat- loncat selama menjadi sasaran api.
Ketika direbus, ia selalu timbul ke permukaan :
merintih terus-menerus tiada henti.
"Mengapa engkau letakkan api di bawahku ?
Engkau membeliku: Mengapa kini kausiksa aku seperti ini ?"
Sang isteri memukulnya dengan penyendok
"Sekarang," katanya "jadi benar-benar matanglah kau dan jangan meloncat lari dari yang menyalakan api.
Aku merebusmu, namun bukan karena kau membangkitkan kebencianku ;
sebaliknya, inilah yang membuatmu menjadi lezat
Dan menjadi gizi serta bercampur dengan jiwa yang hidup; kesengsaraan bukanlah penghinaan
Ketika engkau masih hijau dan segar, engkau minum air di dalam kebun: air
minum itu demi api ini.
Kasih Tuhan itu lebih dahulu daripada kemurkaan-Nya, tujuannya bahwa dengan
kasih-Nya engkau dapat menderita kesengsaraan.
Kasih-Nya yang mendahului kemurkaan-Nya itu
supaya sumber penghidupan, yang ada, dapat dihasilkan;
Bahkan kemudian Tuhan Yang Maha Agung membenarkannya, berfirman, "Sekarang
engkau telah tercuci bersih dan keluarlah dari sungai."
Teruslah, wahai buncis, terebus dalam kesengsaraan sampai wujud ataupun diri
tak tersisa padamu lagi.
Dengan gabungan Logoterapi dan karya para sufi kita bisa membuat sebuah model penghayatan terhadap kehidupan yang lebih baik.
Komentar